Cerpen
Apa
yang Kau Cari dalam
Desah Nafas yang Semakin Terengah Itu!*
Cerpen
Yusmadi
Malam masih menyisakan gigil. Dingin. Langit semalam suntuk muntah air. Muncrat
kemana-mana. Atap rumah tembus. Menggenang di ubin kasar rumah ini. Menjadi
kolam renang kecoak. Selokan meluap. Busuk.
Tak acuh, ayah terus memunggungi
mak. Pergi. Dua adik laki-lakiku mengintip di balik gorden kamar. Menatap ayah, takut. Di dalam kamar, mak
menghirup nafas dalam-dalam. Perih. Matanya berulang menangis. Air mata itu seperti mencoba melarung
tetesan darah dari bagian hati yang sudah lama terluka. Bernanah. Kemudian
bercampur dengan dahak berdarah, dan hueek! Mak muntah darah. Wahai, dengarkan!
Ayah hendak beristri lagi.
Sekali lagi, tubuh rapuh itu
diterpa badai. Entah kekuatan apa yang dimiliki Mak untuk tetap tegar dengan selaksa derita ini. Di depan
kami, tubuh yang kutaksir menyisakan berat 40 kg itu tetap saja mengukir senyum
di mulutnya. Bertiga, aku dan adik-adikku, kembali berteduh di pelukannya.
Seterusnya, dingin kembali memagut sepi.
*
* *
Mahmudi
namamu. Begitulah kini wanita yang melahirkanmu. Angin telah bersekongkol
dengannya. Hingga luka itu tak pernah berhasil kau cium. Sebab kepadamu, wanita
itu selalu mengunci kepedihan. Akan halnya Ayah, begitu lama kau telah membenci
laki-laki itu.
*
* *
Mak
ingin menggeleng. Tapi, telah punah ternyata segenap ketakutan yang bersembunyi
di balik hatinya selama ini.
”Bukankah
dia telah bersuami pula, Mak?”
”Sebulan
yang lalu suaminya telah meninggal!” Gumam mak lirih. Lalu semua potret
perselingkuhan suaminya dengan Wati, adik kandungnya, tiba-tiba tumpah seperti
air bah. Menenggelamkan segenap pengorbanan dan kepasrahan yang selama ini ia
simpan rapi. Semuanya tercerabut begitu saja. Seperti rumput-rumput yang tersabit
tukang kebun dengan sekali sentak.
Namun, mak tetap saja mampu
membangun bendungan di hatinya kembali. Sampai, ya kukatakan saja, sampai laki-laki tua bejat itu meminta mak
serumah dengan istri barunya. Mak tahu benar, adiknya itu memang tak memiliki rumah
selama tiga tahun pernikahan dengan laki-laki dari desa tetangga itu. Selama
itu pula mereka hidup di rumah mertua.
Sekarang giliran Mak yang
bergerak mengumpulkan segenap tenaga. Digapainya tanganku. Erat menggenggam. Tubuh rapuh itu bangkit dari pembaringan.
Dikumpulkannya segenap tenaga. Tangan keriput yang pernah mengobral kasih
kepada kami bertiga, tentu saja kepada laki-laki itu juga, mengusap
kristal-kristal bening yang mulai mengering di pipinya. Ditutupnya episode
hidup yang paling menyakitkan itu. Dan, hueek! Mak muntah darah lagi.
*
* *
Mahmudi
namamu. Menjadi guru karena kenekatan cita-citamu. Kau bawa dua adikmu ke Banda
Aceh, bersama mengharap madu. Karena menurutmu, tak bisa kau berharap pada
seorang ayah yang tak baik laku, menipu, berjudi melulu. Kini kau pulang. Dan,
begitulah wanita yang melahirkanmu. Bertahun
terjerat sakit paru-paru. Angin telah dibayarnya agar tak menebarkan hawa duka
itu. Sebab kepadamu, wanita itu selalu mengunci kepedihan. Namun angin telah
mengkhianati mak. Akan halnya Ayah, bagimu sebenarnya tak perlu.
*
* *
Malam
itu langit pias. Menyaksikan kekalahan paling sempurna bagi seorang wanita yang
tak lagi mampu melayani suaminya. Tunjukkan laki-laki mana yang masih berhasrat
pada wanita berpenyakit paru, kronis!
”Menikahlah...aku ikhlas, Bang!” Malaikat
menangis menyaksikan kepasrahan mak malam itu. Dan kukatakan, sekali lagi
kukatakan, laki-laki itu telah mencabut nyawa mak sebelum ajalnya. Malam
berikutnya laki-laki itu benar-benar menghadirkan malaikat maut. Tepat di
hadapan mak. Meranggas darah mak mendengar permintaan ayah. Permintaan yang
untuk membayangkan saja tak pernah. Permintaan untuk tinggal serumah dengan
istri barunya, adik kandung mak.
Begitulah,
angin telah menyampaikan itu semua kepadaku. Hingga malam itu, bersama dua
adikku, aku meninggalkan Banda Aceh menyusuri kenangan demi kenangan yang telah
lama berdebu. Menjemput kampung halamanku. Satu per satu sketsa biru di
kepalaku menceracau. Laki-laki, yang saat itu masih kupanggil ayah, pulang
terhuyung. Mulutnya menyemburkan bau neraka. Melantakkan seluruh isi lemari
mak. Juga uang hasil menjual sepetak sawah warisan keluarga mak. Padahal besok
akan diserahkan mak kepadaku untuk rencana biaya tahun pertama kuliahku. Tubuh
mak berguling ditendang laki-laki kasar itu. Dan aku, hampir saja laki-laki itu
mati di tanganku.
*
* *
Mahmudi namamu. Kau sadar
telah mengambil andil dalam lakon kelabu itu. Maka salahmu jika mak menjadi
bulan-bulanan laki-laki, terserah apakah kau masih memanggil ayah, itu. Pun,
salahmu ketika sekali waktu kau menjemput adik-adikmu, tak betah walau sehari
kau berteduh di rumah itu. Penuh pikiran, kau sesali sikap laki-laki itu yang
menurutmu sudah tak pantas lagi beristri sebab kepalanya telah kelabu. Tua
bangka, katamu. Lalu kepalamu mulai merangkai-rangkai rencana ini itu.
*
* *
Malam ini, mak akan serumah
dengan madunya. Tepat pukul sembilan.
Pintu di ketuk orang. Kuhadang adikku yang hendak membukakan pintu. Mak masih terbaring layu di kamarnya.
Mataku menerobos ke arah daun pintu. Pisau dapur tergenggam erat di tanganku.
”Braak!” Seorang wanita
menerobos masuk. Ya, hanya seorang. Aku tak melihat bajingan tua itu. Lalu
wanita itu berlari menuju kamar ibu. Di hadapan ibu ia terisak. Mengiba-iba
memohon maaf. Ya, seperti itu. Genggaman pisau di belakang punggungku
mengendur.
”Diarak...kak, dia sedang di
arak keliling kampung!” Tak perlu kudengar penjelasan lengkap lagi. Bagai semut
yang keluar dari sarangnya karena dikencingi anak kecil, aku berlari keluar.
Dengan ojek, aku menuju desa tetangga yang hanya berjarak sepuluh kilometer.
Pisau kuselipkan di balik baju.
Sebuah pemandangan terhampar
di hadapanku. Menohok mata
batinku. Seorang laki-laki dengan seorang wanita didudukkan di samping sumur meunasah.
Dalam temaram malam kulihat laki-laki itu hanya mengenakan sarung. Sedangkan
wanita itu berpakaian lengkap. Tak perlu usaha keras mengenali laki-laki tua
itu walaupun rambut kelabunya gundul. Tepatnya digunduli orang sekampung. Dan
wanita itu, tak perlu kutahu siapa wanita di samping laki-laki tua bangka itu.
Pastilah barang temuan, asesoris pelengkap meja judi dan mabuk-mabukan. Perutku
seperti diaduk-aduk.
Bagai sepasang pengantin dalam
adat Jawa yang sedang dimandikan, berebutan tangan-tangan itu mengguyur
sepasang anak manusia naas itu. Bedanya, dalam upacara adat Jawa, air yang
digunakan telah ditaburi kembang aneka rupa dan orang yang memandikan tidak
lupa mengiringi dengan doa-doa keselamatan bukan air yang telah dicampuri
comberan serta caci serapah. Orang-orang terus saja bersemangat
berteriak-teriak, mengepal-kepalkan tangannya, merasa kampungnya telah dicemari.
Laki-laki tua itu menunduk dalam-dalam.
Nafasnya memburu. Berebutan keluar dari lubang hidungnya. Menyedihkan. Tiba-tiba
beribu jarum menusuk tepat di hulu hatiku. Sakit sekali.
”Aa...yaah!”
*
* *
Bukankah kau yang bernama
Mahmudi itu! Lahir dari wanita berpenyakit paru. Dengan ayah yang tak baik
laku. Tapi kau tetap seorang guru. Keluargamu lebih butuh pengabdianmu itu.
*
* *
* Diambil dari lirik lagu Rafli
1 Komentar:
keren Pak Yus cerpenya... di ambil dari lagu Rafli
mantap jiwa
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda