Lagu Merah Laut Tawar
Cerpen Yusmadi
Berulang kali Ine ingatkanku jangan pernah pergi ke
kota lagi. Apalagi sekedar mencuci mata. Tak ada kebahagiaan di sana selain
raga yang akan menuai lara. “Hamparan
kebun kopi 20 meter dari rumah kita apa belum cukup menyegarkan matamu?” Begitu
selalu alasan Ine jika kukatakan bahwa laki-laki perlu banyak hal yang dilihat.
Entahlah, jujur kukatakan, semua ini sebenarnya hanya karena iklan di sebuah koran
daerah yang kubaca di warung kopi dua hari yang lalu. Aku tertarik dengan
tawaran menjadi cleaning service di
LSM asing itu.
Sebenarnya tak ada yang perlu
kubantah.Walaupun telah tiga tahun berlalu, kekhawatiran
musibah itu terulang kembali masih menari-nari di kerut pelupuk mata tuanya. Ya, ombak 26 Desember yang lalu hampir saja memelukku.
Waktu itu aku masih berstatus buruh di pelabuhan Ulee Lheue. Untunglah, ketika
air laut mulai surut bermeter-meter, aku sedang pergi ke kios membeli sabun
mandi. Kendatipun kekuatan lariku tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan
kecepatan ombak, aku berhasil selamat
setelah terpental ke atas atap sebuah toko berlantai dua. Inilah yang tak pernah
diinginkan Ine. Mimpi pun tidak.
Aku masih saja kalut dalam
kesendirian. Tak mungkin kugadaikan masa depanku ini hanya sebagai penyiang rumput di kebun kopi Pak Hardi itu selamanya. Bapak yang
memang telah sejak lama meninggalkan kami berdua tak lebih seorang tukang kayu.
Dari Bapaklah aku belajar membuat sampan. Sering aku diajak menjaring ikan
depik di danau Laut Tawar kebanggaan daerah kami itu. Gergaji tua satu-satunya
peninggalan Bapak yang mulai karatan itu masih tergantung di dinding papan
rumah, tepatnya gubuk kami ini. Kenyataan inilah yang membuatku, setamat SMA
dulu, memutuskan merantau ke ibu kota Nanggroeku ini.
“Ine, bakal tempat kerjaku
nanti bukan di dekat laut !” tak surut aku mencoba meyakinkan Ine.
“Orang bule itu akan memberi
gaji yang sangat lumayan Ine !”
“Lihat si Win, Leni atau Wani.
Mereka semua kini sudah bekerja di LSM bule-bule itu.”
“Bahkan cerita orang, si Wani sudah
jadi sekretaris di LSM pemberdayaan perempuan pascatsunami milik orang asing.”
Selintas kutangkap titik air
menetes di pipi Ine. Gurat kekecewaan membias di wajah tua yang masih
menyisakan sisa kecantikan itu. Aku pun terdiam.
* * *
Dua minggu berlalu setelah
percakapanku dengan Ine yang mengundang gurat kecewa wanita itu. Aku tak berani
mengungkit-ungkit persoalan itu lagi. Aku pun telah tenggelam dalam kesibukan
mencari upahan membuat sampan. Sampai suatu siang Wani yang telah menjadi sekretaris di LSM asing itu pulang kampung.
Turun dari sebuah mobil
kijang, Wani langsung menuju rumahnya. Blues yang membalut tubuhnya dengan
kombinasi coklat muda dan krem terlihat sangat memesona. Sebuah tas kulit kecil
tergantung indah di bahunya. Ah, sejenak aku terdiam. Begitulah gambaran orang
sukses, pikirku. Tapi, tunggu dulu. Rambutnya...rambutnya yang hitam sebahu
itu, bukankah dulunya selalu terlindung oleh sehelai jilbab? Aku bingung.
Benakku dihujani tanda tanya bertubi-tubi. Sejenak anganku mengawan.
Setahun yang lalu, Wani adalah
gadis kampung yang cukup dikagumi. Selain taat, gadis itu sangat pandai
menyanyi. Seusai mengajar Al-Quran kepada anak-anak di surau, tak lupa Wani
melantunkan sebuah tembang khas dataran tinggi gayo ini.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Kalau sudah mendengar Wani melagukan lagu itu, tak hendak anak-anak itu
melangkah walau setapakpun. Begitulah, anak-anak kecil itu tak ingin pulang
dibuatnya. Padahal Ine mereka akan marah besar jika sapi dan kuda mereka di sawah terlambat digiring
ke kandang.
Aku pun masih mengingat, tangan-tangan mungil bocah usia sekolah dasar
yang menjadi murid Wani itu menutup raut kecewa di wajah mereka. Sebagiannya
menarik-narik baju Ine mereka. Bocah-bocah kecil itu tak rela guru mereka
diambil orang. Namun, bagai karang orang-orang bule itu kukuh sekali meyakinkan
Wani. Bakat Wani akan lebih berkembang, begitu selalu alasannya. Lalu bersama
helaan angin pesisir Laut Tawar Wani pun akhirnya berangkat meninggalkan
dataran tinggi tempat tinggalnya. Meninggalkan tanah Putri Bukes itu.
”Piyan, ke sini !” Aku tersentak. Tiba-tiba saja Wani telah berada lima meter di depanku.
Dan...Wani masih mengingat namaku.
”Apa anak-anak sore begini masih mengaji di surau seperti dulu?” sambil
bertanya sorot matanya tajam menghunjam ke surau kecil yang hanya berjarak
kira-kira 20 meter dari tempat kami berdiri.
”Apa ? Kamu mau ke surau itu ?
Kamu tak mungkin ke surau dengan pakaian seperti itu. Apa kata orang kampung
sini nanti. Apa kamu hendak mengajarkan ajaran sesat kepada mereka!”
Namun, pertanyaan itu hanya tertahan sampai di kerongkonganku. Wani berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban apapun dariku. Dari jarak
10 meter kulihat Wani mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kain segitiga
berkibar ditiup angin. Dengan sebuah gerakan ringan kain segitiga itu
ditutupkan di atas rambut hitamnya. Aku sedikit lega, kenyataan ini menghapus
sebagian prasangka burukku.
Surau gempar. Wani kembali
bersenandung. Suara merdunya sayup terdengar. Tergesa aku mendekati surau itu.
Dari salah satu jendela, kulihat bocah-bocah kecil itu sangat bahagia.
Kerinduan yang telah lama membuncah seketika dalam isak haru disela-sela
nyanyian. Tepuk tangan tak putus-putus, bergelombang mengikuti irama lagu. Tak
terasa aku pun larut.
Di salah satu sudut ruangan
terlihat beberapa anak yang saling cekikikan. Mereka ternyata menertawakan
temannya yang sepertinya kesulitan mengingat gerakan yang baru mereka pelajari.
Mereka tidak boleh ikut bernyanyi sebelum hapal gerakan itu. Selalu saja bocah
laki-laki berkepala gundul itu salah menggerakkan tangannya. Seperti kali ini.
Teman-temannya mulai menggerakkan tangan ke arah kening. Lalu gerakan tangan
itu bersambung turun ke arah dada membentuk garis vertikal. Tetapi ketika anak-anak
itu mulai menyambung gerakan ke arah bahu kanan dan bahu kiri membentuk garis
horizontal, bocah gundul itu malah menggerakkan tangannya ke arah hidung.
Rupanya cairan kuning kental mulai tumpah dari dua lubang hidungnya. Seketika
itu anak-anak yang lain menertawakannya lagi.
Oh, Wani ternyata langsung
menghampiri anak-anak itu. Membimbing dengan penuh asih. Kalau sudah seperti
ini aku termakan cemburu. Ilmu agamaku walaupun serba kekurangan, selalu
kudapat lewat deraan rotan tipis yang senantiasa tergenggam di tangan guru
mengajiku dulu. Lain dengan Wani. Dia benar-benar paham jiwa bocah-bocah itu.
Kali ini dengan seksama
kuperhatikan bocah gundul itu mulai mengulang gerakan itu sendirian. Satu kali,
dua kali. Terlihat masih sedikit tersendat. Namun, kali ketiga tangan kecil itu
mulai lancar. Gerakan itu terus mengalir berulang-ulang. Sampai-sampai aku
sendiri ikut menghapalnya. Tanpa sadar tanganku bergerak mengikuti gerakan
bocah gundul itu. Garis vertikal telah kuselesaikan. Perlahan kini bersambung
ke arah dua bahu membentuk garis horizontal. Dan, belum lagi habis tanganku
bergerak menyentuh kedua sisi bahu...
Ya..Allah...apa yang telah
kulakukan. Bukankah ini gerakan ’Snough Hougranye’? Gerakan inilah yang telah
menyebabkan ulama jadi-jadian produk Belanda itu harus hengkang kaki dari bumi
Malim Dewa ini berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi, apakah, apakah Wani? Dan,
bocah-bocah kecil itu....? Seketika seluruh persendianku terasa lunglai. Aku
mulai mencium amis petaka. Durjana manalagi yang hendak menggagahi bumiku ini. Ah,
aku baru ingat, kemana pula ustazah Aminah ? Tak mungkin Wani bisa seleluasa
itu bila ustazah itu ada. Ya, Allah, kusaksikan dari kejauhan gurat merah senja
mulai menyelubungi Puncak Pantan Terong. Kali ini gurat itu semakin memerah.
* * *
Ustazah Aminah masih beradu
mulut. Bibir Wani yang bersepuh lipstik merah itu berkali-kali mematahkan
pendapat Ustazah Aminah. Bak air bah Wani terus berkata-kata. Benar-benar
bermanfaat ternyata pengetahuan agama yang dimiliki Wani. Walaupun kali ini
sedang ia gunakan untuk menyungkurkan kebenaran. Ustazah Aminah pun hanya bisa
menangis. Aku yang berusaha meleraikan tertahan oleh kerumunan anak-anak yang
perlahan-lahan mulai membentuk dua kubu. Sebagian menarik-narik lengan ustazah Aminah
dan sebagian lagi berada di balik punggung Wani. Sementara dua tiga anak duduk
bengong tak tahu menahu.
Dari ujung lorong desa
beberapa orang ibu-ibu mulai bergerak ke arah surau. Angin mana yang telah
mengabarkan kepada mereka. Ternyata tidak hanya itu, dari arah yang berlawanan
sekitar sepuluhan orang ibu-ibu lainnya juga terlihat bergerak ke arah surau.
Kerumunan ibu-ibu itu langsung menutup pintu surau seakan menghadang untuk
meminta penjelasan.
Seketika Wani mulai
menjulur-julurkan lidahnya membolak-balik fakta. Masyarakat terhasut. Pandai
benar ia mengambil muka. Wani benar-benar berubah menjadi musang berbulu ayam. Mengapa
masyarakat ini lagi-lagi menjadi korban seorang ’Snough’ batinku.
”Apakah ibu-ibu keberatan jika
saya menyeleksi putra-putri ibu yang pintar bernyanyi untuk saya sekolahkan di
kota ?” Wani menaburkan bisa berulang kali.
Terdengar koor panjang yang
melegakan hati Wani. Mata-mata mereka seakan ingin ‘menelanjangi’ ustazah Aminah. Kerut tak mengerti
tergambar di wajah mereka. Sebab apa ustazah Aminah menghalangi maksud baik
Wani.
”Bagi yang berminat silakan
datang ke rumah saya mendaftarkan diri !”
”Dan ini hanya khusus untuk
anak-anak bukan untuk orang dewasa !” Sinis Wani memandang Ustazah Aminah
sambil memberi intonasi berbeda pada akhir kalimatnya.
Setelah berkhotbah panjang lebar, Wani
menyudahi kalimatnya. Tak
sedikit pun kesempatan diberikan kepada Ustazah Aminah. Aura kemenangan
menghiasi wajah Wani. Kesejukan yang dulu terpancar di wajahnya telah hilang
entah kemana. Sigap Wani meninggalkan surau itu tanpa sedikit pun berpaling ke
arah Ustazah Aminah yang masih terduduk lemas di salah satu tiang surau.
Tiba-tiba seorang wanita 40-an
menyeruak dari kerumunan ibu-ibu. Berdiri tepat di depan layaknya pemimpin
pasukan.
”Ustazah, memangnya kita ini
orang kaya. Kenapa kita menolak niat baik orang lain. Lihat saja, si Wani itu
telah sukses. Kami juga ingin anak kami seperti mereka. Tidak selalu harus
berbedak lumpur seperti kami ini !” Lantang sekali wanita itu berkata. Koor panjang kembali terdengar
membenarkan wanita itu. Entah kenapa Ustazah Aminah masih mengunci suara.
Aku yang akhirnya
terjebak di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu itu semakin bertambah gerah tak
mampu berkata apa. Sampai
akhirnya satu persatu dari mereka meninggalkan surau sambil menggamit anak
mereka masing-masing.
*
* *
Hawa dingin masih meruap.
Kabut tipis berarak menutupi hamparan kebun nenas sepanjang jalan desa. Sambil
sesekali merapikan jaket tebal mereka, bocah-bocah kecil itu saling bercanda
sambil mengepul-ngepulkan uap tipis dari mulutnya itu ke wajah temannya.
Beberapa anak yang lain tengah asyik mengukir nama mereka di kaca mobil yang sedang
parkir di depan surau dengan jari tangannya. Embun tipis di kaca mobil itu seakan
menjadi tinta. Sepagi ini memang dataran tinggi Gayo sangat dingin. Namun,
tidak cukup untuk mendinginkan hatiku.
Sia-sia sudah waktuku dua hari
ini. Tawaran memperbaiki
sampan nelayan selama itu tak kuhiraukan. Sengaja kusediakan dua hari ini
menemani ustazah Aminah berkeliling desa. Selama itu pula tak ada pintu rumah
yang belum kami datangi di kampung ini. Semuanya bersuka cita mendengar tawaran
Wani. Segala penjelasan Ustazah Aminah selalu berujung pada kecurigaan. Padahal mereka tidak tahu lebih tepatnya tak
percaya dengan apa yang telah dikerjakan Wani di surau dua hari yang lalu.
Aku tersentak. Tiba-tiba bocah-bocah
kecil yang jumlahnya sekitar 20-an itu bernyanyi riang. Sepertinya mobil itu
telah siap berangkat. Ya, suara indah nan polos mereka itulah yang telah mengantarkan
Wani memilih mereka dan meyakinkan orang tua mereka.
Perlahan putaran roda mobil
itu mulai bergerak. Kepulan debu dan asap hitam meninggalkan bekas kotor di
dinding surau. Bocah-bocah kecil itu belum juga berhenti bernyanyi. Aku masih
diam terpatung sambil mengumpulkan sisa-sisa bait luka yang tertulang. Akankah mereka seperti lagu sendu itu.
Garepo,o,sayang,o
sayang...
Gere berine gere berama... *
Di lengkung bukit yang mengitari Laut Tawar, kabut itu bergulung semakin
tebal.
* * *
Keterangan :
*) Lagu daerah
Aceh Tengah
Yatim piatu, o,sayang,o sayang
Ibu tiada ayah pun
tiada