Minggu, 16 Juli 2017

Materi 2 Teks Deskripsi

Cermati dengan baik video pembelajaran berikut!


Materi 1 Teks Deskripsi


Cermati dengan baik video pembelajaran berikut!




Selasa, 08 November 2016

Reuncong



Reuncong
Cerpen Yusmadi



Kutaraja, November 1873
Langit Baiturrahman merah berdarah. Setiap jengkal tanahnya disesaki dengan mayat. Seketika bau anyir meruap menyesaki paru-paru. Kubah masjid berderak patah mencium bumi. Asap membubung tinggi meliuk-liuk menuju langit. Dalam sekejap bangunan mulia dari kayu itu hitam mengarang. Kaphee[1]  Belanda telah membakarnya.
Enam kapal perang Belanda  mendarat di Pantee Ceureumen, Ulee Lheue. Dalam[2] dalam keadaan bahaya. Sultan Mahmud Syah meradang. Peperangan meluas. Geram. Panik. Aroma syuhada menyebar tercium ke segenap penjuru. Menyerobot masuk ke setiap celah bilik penduduk gampong[3]. Melampaui gunung, merambah belantara.

*  *  *
           
“Samaaan!” Seorang wanita lima puluhan berteriak gusar. Cairan warna merah daun ranup[4] yang telah bercampur dengan air liur menetes dari mulutnya. Berkali-kali Mak Lami yang sudah tak bersuami itu membetulkan letak selendang yang menutupi rambut putihnya. Bingung. Dengan tertatih-tatih Mak Lami menuruni anak tangga rumoh manyang[5]. Tapak kaki yang tak mengenal alas itu langsung diseretnya ke halaman belakang.
Seorang pemuda bertelanjang dada tampak sedang menekuni pekerjaannya. Dari raut wajahnya tampak sekali ia tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Pemuda dua puluh tahunan itu tak ingin pekerjaannya terganggu. Dentingan logam terdengar bersahutan.  Sesekali angin dari rimbunan bak mulieng[6] bertiup mempermainkan sarung kumal yang dikenakan sekenanya oleh pemuda itu. Warna kulitnya yang kecoklatan tersepuh oleh keringat sehingga kelihatan mengkilat diterpa matahari. Rahangnya yang kuat dilengkapi dengan hidungnya yang mancung serta alis yang terukir lebat menegaskan ketampanan laki-laki muda itu. Tak salah bila banyak aneuk dara[7] yang mengaguminya.
Sudah sebulan  ini Saman hanya menghabiskan waktunya di pandee-pandee[8]. Reuncong yang diinginkannya tak juga kunjung selesai. Telah lama benar ia menginginkan  reuncong yang sempurna. Reuncong meupucok[9] peninggalan ayahnya tak sedikitpun berani disentuhnya. Reuncong itu telah menjadi pusaka keluarga. Lapisan emas yang menutupi ukiran di hulu reuncong itu masih tetap mengkilap. Sebenarnya reuncong itu bukanlah sepenuhnya milik ayahnya. Reuncong dengan jenis seperti itu hanya dimiliki kaum bangsawan. Seorang Uleebalang menghadiahi reuncong itu untuk ayahnya sebagai jasa kesetiaan.
Saman dengan perlahan mulai mengusap hulu reuncong. Hulu reuncong yang dibuat dari tanduk sapi itu seketika mengkilap. Hulu reuncong itu dibuatnya meucugeek[10]. Hulu dengan penahan tangan seperti itu tidak mudah lepas bila hendak mencabutnya dari sasaran. Saman telah menggadaikan segenap rasa dan cintanya untuk reuncong itu.
Mak Lami semakin mempercepat langkahnya. Sesekali ia menggerutu bila kakinya terhalang oleh rambatan pohon ranup.
“Sampai kapan reuncongmu itu akan siap, Saman!” Mak Lami berteriak jengkel. Cairan merah sebentar-bentar berhamburan dari mulutnya.
“Teungku Lah tetangga kita telah bergabung dengan pasukan Sultan pagi tadi. Mereka akan menghadang kapai prang kaphee[11] Belanda di Pantee Ceureumeen.” Mak Lami bertambah gusar. Anak laki satu-satunya itu tak sedikitpun menoleh kepadanya.
Hai aneuk meutuah[12], apakah kamu hendak menonton saja rumah Allah masjid Baiturrahman yang telah hangus dimakan api?” Suara wanita tua itu terdengar histeris. Tiba-tiba wajah Saman mengeras. Rahangnya bergerak-gerak. Namun tetap saja pandangannya sedikitpun tak beralih dari reuncongnya. Mak Lami segera menahan ucapannya. Ia paham benar tabiat anak laki-lakinya itu. Tentulah perkataannya tadi telah masuk dan menusuk ke hatinya. Walaupun tak ada kata-kata yang keluar dari mulut anaknya itu.
Mak Lami menyeret kakinya menjauh dengan perasaan kalut. Wanita itu tidak langsung memasuki rumoh manyangnya. Dipetiknya pucuk daun mulieng yang tumbuh di sekeliling rumahnya sambil mengumpulkan buah mulieng yang berjatuhan di tanah. Biasanya daun mulieng itu akan dimasaknya dengan pliek u dan buahnya akan ditumbuk dan dijadikan kerupuk. Hampir seluruh penduduk gampong melakukan hal yang sama. Dengan cara itu belum pernah sekalipun mereka kekurangan bahan pangan.

*  *  *

Semburat merah menyembul dari celah-celah bukit. Cahaya api yang bersumber dari panyot culot[13] mulai menerangi rumah-rumah penduduk gampong. Hampir semua penduduk gampong mempercepat kesibukan mereka senja itu. Seolah mereka khawatir bila pekerjaannya belum selesai dan malam telah menyambutnya. Letak rumah satu dengan yang lainnya yang agak berjauhan membuat suasana senja kali ini semakin terasa mencekam.  Saman baru saja menyempurnakan wudhunya. Tetesan air berjatuhan dari wajahnya. Diambilnya kupiah[14] yang tersangkut di kayu dinding sumur yang terbuat dari pelepah rumbia. Dibetulkannya letak kain sarungnya sambil berjalan menuju meunasah[15]. Selang beberapa saat, suara merdunya telah mengalun kuat mengajak manusia untuk segera menyembah Sang Pencipta.
  Selepas salat magrib, Teungku Jafa selaku imum meunasah[16] meminta Saman dan beberapa pemuda tetap tinggal di meunasah. Ada hal penting yang hendak mereka bincangkan. Tidak seperti biasanya, Saman seperti menangkap kesan rahasia dari nada ucapan Teungku Jafa.
Tanpa menunggu lama, Teungku Jafa meminta salah seorang pemuda menggelar tikar. Kedelapan pemuda yang diminta untuk ikut pertemuan itu segera mengambil posisi melingkar. Saman mencoba membaca raut mimik pemuda-pemuda teman sepengajiannya itu. Kepada merekalah Teungku Jafa menghabiskan waktu-waktunya mengajarkan seluk beluk agama setiap pekan. Leman pemuda yang biasanya banyak cakap hanya diam terpaku menatap ukiran tikar pandan yang dijalin warna-warni. Zulfikar masih menekuni zikirnya dengan tasbih yang melingkar di tangannya. Begitupun dengan yang lainnya. Semua menampakkan keseriusan di wajah mereka membuat Saman semakin yakin akan ada hal penting yang akan terjadi. Pastilah urusan ini melibatkan mereka.
Saman mulai menduga-duga. Apakah pertemuan ini ada hubungannya dengan khabar yang sempat di dengarnya siang tadi dari bisik-bisik penduduk gampong. Pasukan kesultanan tidak mampu membendung pendaratan pasukan Belanda di Pantee[17] Ceureumen. Terbetik khabar pasukan Belanda hendak mengepung dan menguasai Dalam. Sampai siang tadi pasukan Belanda telah bergerak  membumihanguskan Masjid Baiturrahman di Kutaraja. Teuku Imeum Lueng Bata dan pasukannya sedang berjuang  mempertahankan Baiturrahman.
“Begitulah kondisinya, wahai aneuk-aneuk lon[18].” Teungku Jafar mengakhiri penjelasannya. Saman dan teman-temannya tidak sanggup membendung gelombang panas yang tiba-tiba mulai menjalari ke setiap aliran darah mereka.
“Dan kau Saman, kumpulkanlah reuncong-reuncong terbaikmu!”
Geut[19], Teungku” Saman menyahut takzim. Siap dengan amanah yang dibebankan padanya. Semua penduduk gampong paham benar tentang kelihaian Saman untuk urusan yang satu itu.
“Apakah para wanita dan anak-anak harus kita ungsikan, Teungku?” Karim yang sedari tadi diam, menyela. Ujung matanya menatap tajam ke arah Saman.
“Semua strategi akan kita bahas besok subuh bersama kaum tua.” Teungku Jafa menutup  pertemuan dan mengisyaratkan waktu Isya sudah tiba. Saman dan pemuda lainnya segera membubarkan diri turun dari tangga meunasah untuk memperbarui wudhu mereka.

*  *  *
Mak Lami masih membelah tumpukan buah pinang di halaman rumahnya dengan rampagoe[20] ketika seorang gadis datang menyapa. Kerudung hijau muda yang dikenakan gadis itu sesekali dicandai angin. Langkahnya tanpa ragu memasuki halaman rumah Mak Lami. Dari gelagatnya nyatalah bahwa gadis itu sudah terbiasa ke rumah itu.
“Mak, ini ada sedikit kuah lemak.” Sambil menyerahkan wadah kecil yang sedari tadi dipegangnya, gadis itu langsung duduk di samping Mak Lami. Tangannya yang halus dengan cekatan membantu pekerjaan Mak Lami. Sepertinya ada urusan sangat penting yang hendak disampaikannya pada wanita tua itu.
“Cut Intan, kau selalu membuat Mak malu.”
“Dalam minggu ini sudah empat kali kau mengirimkan makanan.” Mak Lami menggenggam tangan gadis itu. Gadis yang dipanggil Cut Intan itu hanya tersipu. Rona merah membayang di pipinya. Sebuah senyum terukir manis di tipis bibirnya. Dalam keadaan seperti itu kecantikan benar-benar terukir penuh di wajahnya.
Cut Intan gadis yang sedang memasuki masa remaja itu tinggal tidak sampai saboh batee[21] dari rumah Mak Lami. Teuku Wahab ayahnya adalah orang paling berada di gampong ini. Mak Lami sangat menghormati dan menyayangi gadis itu. Gadis yang menurut Mak Lami memiliki dunia akhirat. Cut Intan sangat rajin ke meunasah mengikuti pengajian. Saman sesekali waktu juga ikut mengajarkan ilmunya jika Teungku Jafa berhalangan. Mak Lami mulai menjaga jarak dengan Cut Intan ketika penduduk gampong mulai ramai membincangkannya.
Teuku Wahab memiliki banyak harta. Tanah yang dimilikinya tersebar hampir di setiap penjuru gampong. Rumah Teuku Wahab sangat mencolok di antara rumah penduduk lainnya. Setiap kayu utama penyangga rumahnya terdiri dari kayu pilihan. Banyak penduduk merasa iri padanya. Entahlah. Mak Lami terlalu lelah kalau harus memikirkan itu pula.
“Cut Intan, lekaslah kau pulang! Mak khawatir orang tuamu mencarimu.” Mak Lami bimbang.
“Mak tidak suka lon[22] di sini?” Cut Intan menatap Mak Lami. Wanita tua itu menjadi serba salah. Ia tahu perkataannya tadi telah menyentuh kalbu gadis cantik itu. Biasanya tak pernah Mak Lami menanyakan hal itu. Baginya Cut Intan telah dianggap sebagai anaknya sendiri.
“Engkau tahu Cut, kondisi sekarang sedang tidak tenang. Lebih aman jika anak gadis sepertimu berada di rumah orang tuamu.” Mak Lami menarik napas lega. Mak Lami merasa ia telah memberi alasan yang tepat. Cut Intan mengangguk mengerti. Dipendamnya dalam-dalam hasrat hendak berkeluh dengan mak Lami. Diambilnya nampan kecil yang sudah dipindahkan isinya oleh Mak Lami. Cut Intan perlahan bangkit, sambil mengibas remah buah pinang yang bertaburan di sarung yang dipingganginya.
Cut Intan hendak meninggalkan Mak Lami, ketika Saman tiba-tiba muncul melewati mereka hendak menaiki tangga rumah. Cut Intan menoleh sambil mengangguk kecil sebagai isyarat mohon pamit. Saman membalas anggukan Cut Intan lalu bergegas menaiki anak tangga rumahnya. Cut Intan tidak bisa berbohong. Debar-debar kecil menjalari tubuhnya. Rasa yang akan terus dijaganya paling tidak untuk satu hari lagi. Sampai...ah, remuk hati Cut Intan membayangkannya. Andai kau tahu, Saman. Cut Intan perlahan berlalu. Meninggalkan sebuah senyum terukir ranum di wajahnya. Senyum  yang menyisakan guratan kepedihan. Senyum yang sering dinantikan oleh setiap pemuda di gampong itu, juga Karim.

*  *  *

Kabut tipis masih memeluk jalan setapak dekat Indrapuri. Hawa dingin memaksa dua puluhan pemuda mempercepat langkah. Selepas Subuh mereka harus sudah keluar dari gampong itu.  Meninggalkan orang-orang yang mereka cintai untuk sesaat menahan rindu. Membiarkan mereka merajut doa untuk sebuah pertemuan kembali yang tak pasti.  Namun,  tidak bagi Cut Intan.
Sepasang mata bening itu telah menunggu sejak tengah malam. Lewat celah jendela ditatapnya iring-iringan itu dengan segenap kepedihan. Mukena masih menutupi tubuhnya selepas salat malam tadi. Remuk sudah hati wanita muda nan cantik itu.  Mengapa dirinya harus dihadapkan pada keputusan yang berat. Kalau saja cinta itu cepat mereka sadari.
Sepucuk reuncong masih tergenggam di tangannya. Saman memberinya sore tadi selepas salat Ashar di meunasah. Terjawab sudah semua prasangka di antara mereka selama ini. Cut Intan diamuk rasa. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Kekakuan Saman selama ini hanyalah sebuah pengorbanan seorang pemuda yang hendak menjaga fitrahnya semata. Tapi, mengapa harus terlambat.
”Dek Cut, simpanlah reuncong ini! Jika keinginan kita sejalan dengan kehendak Allah…” Saman menata degup yang meronta dalam tubuhnya. Baik ditumpahkan saja semua rasa ini. Biarlah mengalir menjadi sungai yang memberinya kehidupan.
“…Terimalah reuncong ini sebagai mahar kita nanti!”
Mata indah itu dibasahi bening-bening kristal. Serasa jiwanya melayang menggapai syurga. Hawa dingin dan nyaman seketika mengepung seluruh tubuhnya. Mengalir ke setiap aliran darahnya. Namun, ketika sampai ke saraf-saraf  kesadarannya, tahulah gadis itu bahwa semuanya kini sudah tak berarti lagi. Tahukah kau Saman. Sore ini pula Karim telah datang ke rumahku. Meminangku. Meminta setengah jiwa yang telah kugadaikan untukmu sejak lama. Ah, mata bening itu tak mampu lagi menyimpan dukanya.

*  *  *
           
Januari, 1874
            Mak Lami belum juga menuntaskan salat malamnya. Hampir setengah jam wanita yang kini tinggal sebatang kara itu larut dalam doa panjangnya. Tak ada lagi yang akan meneruskan generasinya. Berita dari Teuku Jafa siang tadi bagai memotong urat nadinya. Pilu merajam segenap jiwa wanita tua itu.
Saman terbunuh. Kabar itu berhembus sejak siang tadi ke seluruh penduduk gampong bagai wabah kolera yang sedang berjangkit saat itu. Selentingan yang terdengar bahwa Masjid Baiturrahman dan Dalam telah jatuh ke tangan Belanda. Sultan bersama Panglima Polem dan Teuku Baet menghindar ke Lueng Bata. Van Swieten, Jenderal Belanda itu mengoyak-koyak pertahanan pasukan Aceh. Belanda behasil mengepung Dalam dengan kekuatan penuh. Meninggalkan gelimpangan ribuan tubuh syuhada.
Ketakutan menebar kemana-mana. Seluruh penduduk bersiap-siap mengungsi. Takut kalau-kalau serangan Belanda sampai ke daerah mereka. Tidak dengan Cut Intan. Seharian gadis malang itu hanya mengurung diri di kamarnya. Reuncong pemberian laki-laki yang dicintainya itu tak lepas dari matanya. Sedikitpun dia tak disibukkan dengan rencana ayahnya. Padahal, besok Teuku Wahab akan menikahkannya dengan Karim.

*  *  *
 
Cut Intan terus berharap keajaiban Tuhan akan terjadi di depan matanya. Bayang-bayang Saman tak bisa hilang dari pikirannya. Sedikitpun tak diperhatikannya Teungku Qadhi yang bersiap membacakan aqad. Pandangannya hanya menerawang menembus dinding rumahnya. Resah tak mau hilang dari jiwanya.
Karim menarik nafas lega. Senyum membias di wajah pemuda itu. Tercapai sudah keinginannya. Benarkah? Entahlah. Wajah pemuda itu seperti masih menyimpan sejuta keinginan terpendam.
BOM! BOM! DOR! DOR!
”Aaaaa!!”
”Seraang!!”
”Allaaahu Akbar!!  Allaaahu Akbar!!”   
Seisi rumah terperanjat. Cut Intan masuk kamar. Di tangannya kini tergenggam sebilah reuncong. Gadis itu segera keluar menyusul Teuku Wahab dan Karim yang lebih dulu keluar.
”Perang! Belanda sampai..., mengungsi...mengungsi!”  Panik. Takut. Geram. Seketika menyebar ke setiap penjuru. Suara bedil, mesiu menderu-deru. Jeritan dan tangis bayi menggapai-gapai langit. Para lelaki menghunus rencong dan kelewang. Teungku Jafa langsung memimpin perlawanan.
Peperangan yang tidak seimbang itu terus berkobar. Api menjalar kemana-mana. Menghanguskan apa saja. Para wanita berlari tak tentu arah. Anak-anak yang terjatuh dari gendongan ibunya terinjak kehilangan nyawa. Van Swieten, Jenderal Belanda itu benar-benar tak memberikan kesempatan.
Aneuk lon.....aneuk looon!”[23] Jerit seorang wanita sambil memeluk bayinya yang telah bersimbah darah.
Dari arah Barat terlihat asap mengepul semakin tinggi. Belanda kembali membakar rumah-rumah penduduk. Oh, bukankah...bukankah, Rumah Mak Lami berada di sana?
Cut Intan terperangah. Ternganga. Matanya benar-benar terbelalak. Tiba-tiba Karim telah berdiri di sampingnya. Naluri membimbingnya masuk ke kancah pertempuran. Namun, tangan lelaki itu mencengkram kuat.
”Tolooong! Tolooong!” terdengar suara wanita berteriak lemah minta tolong di tengah  kancah peperangan. Mata Cut Intan benar-benar terbelalak.
”Mak Lamiiii!” Pekik Cut Intan tertahan. Cut Intan hendak berlari ke arah Mak Lami. Sekali lagi tangan kekar Karim mencengkramnya kuat.
”Bang Karim, tolong Mak Lamii!” Isak gadis itu.
”Diamlah.!” Karim melihat ke arah Mak Lami. Sebuah senyum culas mengembang di wajahnya. Wanita tua itu tak bergerak lagi. Berkali-kali tubuh wanita tua itu terinjak. Luka di sekujur tubuhnya mengeluarkan darah segar.
”Kariiiim!” Sebuah suara bentakan tiba-tiba terdengar.  Suara Teuku Wahab. Teuku Wahab geram melihat menantunya itu hanya menonton. Laki-laki itu berlari ke arah Karim dan Cut Intan. Baru beberapa meter. Sebutir peluru menghunjam dada laki-laki itu.
”Ayaaah!!”  Tangis Cut Intan Pilu. Karim panik. Demi dilihatnya sekelompok serdadu Belanda bergerak mendekat ke arahnya, sebuah senyum kembali mengembang di wajahnya. Pengkhianat!

*  *  *




Epilog
Gadis itu menghapus keringat di wajahnya. Reuncong dengan bercak darah mengering masih tergenggam di tangannya. Terbayang laki-laki yang memberikan reuncong itu. Laki-laki yang dicintainya. Laki-laki yang telah dikhianati temannya. Laki-laki yang dibunuh dengan rencongnya sendiri. Cut Intan sedikit pun tak ragu untuk mengenali rencong yang tergenggam di tangan Karim saat itu. Rencong kembar milik mereka. Ketahuilah Saman. Reuncong pemberianmu baru saja menghabisi nyawa seorang laki-laki pengkhianat. Dan... laki-laki itu? Karim, suaminya.  Tak ada sesal di wajah Cut Intan.  Hidup di hutan belantara bersama Teungku Jafa dan orang-orang yang ikhlas membela agama Allah telah menjadi pilihan baginya.

*  *  *


[1] Kaum kafir. Sebutan untuk penjajah Belanda
[2] Istana Kerajaan Aceh
[3] Desa
[4] sirih
[5] Rumah adat aceh
[6] Melinjo
[7] gadis
[8] Tempat menempa rencong
[9] Salah satu jenis reuncong dengan lapisan emas di hulu reuncong.
[10] Jenis reuncong yang memiliki kekhasan pada hulunya.
[11] Kapal perang
[12] Wahai anak yang berbudi
[13] Lampu teplok
[14] Peci
[15] Mushalla/surau
[16] Imam mushalla/pemuka agama
[17] Pantai Cermin/Ulee Lheeu. Tempat pendaratan pasukan Belanda/Agresi Belanda I
[18] Anak-anakku/murid-muridku
[19] baiklah
[20] Alat pembelah pinang
[21] Ukuran jarak yang dipakai masa itu. Lebih kurang satu kilometer
[22] saya
[23] Anakku...! anakku....!

Selasa, 02 Agustus 2016

Lagu Merah Laut Tawar
Cerpen Yusmadi

Berulang kali Ine ingatkanku jangan pernah pergi ke kota lagi. Apalagi sekedar mencuci mata. Tak ada kebahagiaan di sana selain raga yang akan menuai lara. “Hamparan kebun kopi 20 meter dari rumah kita apa belum cukup menyegarkan matamu?” Begitu selalu alasan Ine jika kukatakan bahwa laki-laki perlu banyak hal yang dilihat. Entahlah, jujur kukatakan, semua ini sebenarnya hanya karena iklan di sebuah koran daerah yang kubaca di warung kopi dua hari yang lalu. Aku tertarik dengan tawaran menjadi cleaning service di LSM asing itu.
Sebenarnya tak ada yang perlu kubantah.Walaupun telah tiga tahun berlalu, kekhawatiran musibah itu terulang kembali masih menari-nari di kerut pelupuk mata tuanya. Ya, ombak  26 Desember yang lalu hampir saja memelukku. Waktu itu aku masih berstatus buruh di pelabuhan Ulee Lheue. Untunglah, ketika air laut mulai surut bermeter-meter, aku sedang pergi ke kios membeli sabun mandi. Kendatipun kekuatan lariku tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kecepatan  ombak, aku berhasil selamat setelah terpental ke atas atap sebuah toko berlantai dua. Inilah yang tak pernah diinginkan Ine. Mimpi pun tidak.
Aku masih saja kalut dalam kesendirian. Tak mungkin kugadaikan masa depanku ini hanya sebagai penyiang rumput di kebun kopi Pak Hardi itu selamanya. Bapak yang memang telah sejak lama meninggalkan kami berdua tak lebih seorang tukang kayu. Dari Bapaklah aku belajar membuat sampan. Sering aku diajak menjaring ikan depik di danau Laut Tawar kebanggaan daerah kami itu. Gergaji tua satu-satunya peninggalan Bapak yang mulai karatan itu masih tergantung di dinding papan rumah, tepatnya gubuk kami ini. Kenyataan inilah yang membuatku, setamat SMA dulu, memutuskan merantau ke ibu kota Nanggroeku ini.
“Ine, bakal tempat kerjaku nanti bukan di dekat laut !” tak surut aku mencoba meyakinkan Ine.
“Orang bule itu akan memberi gaji yang sangat lumayan Ine !”
“Lihat si Win, Leni atau Wani. Mereka semua kini sudah bekerja di LSM bule-bule itu.”
“Bahkan cerita orang, si Wani sudah jadi sekretaris di LSM pemberdayaan perempuan pascatsunami milik orang asing.”
Selintas kutangkap titik air menetes di pipi Ine. Gurat kekecewaan membias di wajah tua yang masih menyisakan sisa kecantikan itu. Aku pun terdiam.
*  *  *
Dua minggu berlalu setelah percakapanku dengan Ine yang mengundang gurat kecewa wanita itu. Aku tak berani mengungkit-ungkit persoalan itu lagi. Aku pun telah tenggelam dalam kesibukan mencari upahan membuat sampan. Sampai suatu siang Wani yang telah menjadi  sekretaris di LSM asing itu pulang kampung.
Turun dari sebuah mobil kijang, Wani langsung menuju rumahnya. Blues yang membalut tubuhnya dengan kombinasi coklat muda dan krem terlihat sangat memesona. Sebuah tas kulit kecil tergantung indah di bahunya. Ah, sejenak aku terdiam. Begitulah gambaran orang sukses, pikirku. Tapi, tunggu dulu. Rambutnya...rambutnya yang hitam sebahu itu, bukankah dulunya selalu terlindung oleh sehelai jilbab? Aku bingung. Benakku dihujani tanda tanya bertubi-tubi. Sejenak anganku mengawan.
Setahun yang lalu, Wani adalah gadis kampung yang cukup dikagumi. Selain taat, gadis itu sangat pandai menyanyi. Seusai mengajar Al-Quran kepada anak-anak di surau, tak lupa Wani melantunkan sebuah tembang khas dataran tinggi gayo ini.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Kalau sudah mendengar Wani melagukan lagu itu, tak hendak anak-anak itu melangkah walau setapakpun. Begitulah, anak-anak kecil itu tak ingin pulang dibuatnya. Padahal Ine mereka akan marah besar jika sapi  dan kuda mereka di sawah terlambat digiring ke kandang. 
Aku pun masih mengingat, tangan-tangan mungil bocah usia sekolah dasar yang menjadi murid Wani itu menutup raut kecewa di wajah mereka. Sebagiannya menarik-narik baju Ine mereka. Bocah-bocah kecil itu tak rela guru mereka diambil orang. Namun, bagai karang orang-orang bule itu kukuh sekali meyakinkan Wani. Bakat Wani akan lebih berkembang, begitu selalu alasannya. Lalu bersama helaan angin pesisir Laut Tawar Wani pun akhirnya berangkat meninggalkan dataran tinggi tempat tinggalnya. Meninggalkan tanah Putri Bukes itu.
”Piyan, ke sini !” Aku tersentak. Tiba-tiba saja Wani telah berada lima meter di depanku. Dan...Wani masih mengingat namaku.
”Apa anak-anak sore begini masih mengaji di surau seperti dulu?” sambil bertanya sorot matanya tajam menghunjam ke surau kecil yang hanya berjarak kira-kira 20 meter dari tempat kami berdiri.
”Apa ? Kamu mau ke surau itu ? Kamu tak mungkin ke surau dengan pakaian seperti itu. Apa kata orang kampung sini nanti. Apa kamu hendak mengajarkan ajaran sesat kepada mereka!”
Namun, pertanyaan  itu hanya tertahan sampai di kerongkonganku. Wani berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban apapun dariku. Dari jarak 10 meter kulihat Wani mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kain segitiga berkibar ditiup angin. Dengan sebuah gerakan ringan kain segitiga itu ditutupkan di atas rambut hitamnya. Aku sedikit lega, kenyataan ini menghapus sebagian prasangka burukku.
Surau gempar. Wani kembali bersenandung. Suara merdunya sayup terdengar. Tergesa aku mendekati surau itu. Dari salah satu jendela, kulihat bocah-bocah kecil itu sangat bahagia. Kerinduan yang telah lama membuncah seketika dalam isak haru disela-sela nyanyian. Tepuk tangan tak putus-putus, bergelombang mengikuti irama lagu. Tak terasa aku pun larut.
Di salah satu sudut ruangan terlihat beberapa anak yang saling cekikikan. Mereka ternyata menertawakan temannya yang sepertinya kesulitan mengingat gerakan yang baru mereka pelajari. Mereka tidak boleh ikut bernyanyi sebelum hapal gerakan itu. Selalu saja bocah laki-laki berkepala gundul itu salah menggerakkan tangannya. Seperti kali ini. Teman-temannya mulai menggerakkan tangan ke arah kening. Lalu gerakan tangan itu bersambung turun ke arah dada membentuk garis vertikal. Tetapi ketika anak-anak itu mulai menyambung gerakan ke arah bahu kanan dan bahu kiri membentuk garis horizontal, bocah gundul itu malah menggerakkan tangannya ke arah hidung. Rupanya cairan kuning kental mulai tumpah dari dua lubang hidungnya. Seketika itu anak-anak yang lain menertawakannya lagi.    
Oh, Wani ternyata langsung menghampiri anak-anak itu. Membimbing dengan penuh asih. Kalau sudah seperti ini aku termakan cemburu. Ilmu agamaku walaupun serba kekurangan, selalu kudapat lewat deraan rotan tipis yang senantiasa tergenggam di tangan guru mengajiku dulu. Lain dengan Wani. Dia benar-benar paham jiwa bocah-bocah itu.
Kali ini dengan seksama kuperhatikan bocah gundul itu mulai mengulang gerakan itu sendirian. Satu kali, dua kali. Terlihat masih sedikit tersendat. Namun, kali ketiga tangan kecil itu mulai lancar. Gerakan itu terus mengalir berulang-ulang. Sampai-sampai aku sendiri ikut menghapalnya. Tanpa sadar tanganku bergerak mengikuti gerakan bocah gundul itu. Garis vertikal telah kuselesaikan. Perlahan kini bersambung ke arah dua bahu membentuk garis horizontal. Dan, belum lagi habis tanganku bergerak menyentuh kedua sisi bahu...
Ya..Allah...apa yang telah kulakukan. Bukankah ini gerakan ’Snough Hougranye’? Gerakan inilah yang telah menyebabkan ulama jadi-jadian produk Belanda itu harus hengkang kaki dari bumi Malim Dewa ini berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi, apakah, apakah Wani? Dan, bocah-bocah kecil itu....? Seketika seluruh persendianku terasa lunglai. Aku mulai mencium amis petaka. Durjana manalagi yang hendak menggagahi bumiku ini. Ah, aku baru ingat, kemana pula ustazah Aminah ? Tak mungkin Wani bisa seleluasa itu bila ustazah itu ada. Ya, Allah, kusaksikan dari kejauhan gurat merah senja mulai menyelubungi Puncak Pantan Terong. Kali ini gurat itu semakin memerah.
                                                *  *  *
Ustazah Aminah masih beradu mulut. Bibir Wani yang bersepuh lipstik merah itu berkali-kali mematahkan pendapat Ustazah Aminah. Bak air bah Wani terus berkata-kata. Benar-benar bermanfaat ternyata pengetahuan agama yang dimiliki Wani. Walaupun kali ini sedang ia gunakan untuk menyungkurkan kebenaran. Ustazah Aminah pun hanya bisa menangis. Aku yang berusaha meleraikan tertahan oleh kerumunan anak-anak yang perlahan-lahan mulai membentuk dua kubu. Sebagian menarik-narik lengan ustazah Aminah dan sebagian lagi berada di balik punggung Wani. Sementara dua tiga anak duduk bengong tak tahu menahu.
Dari ujung lorong desa beberapa orang ibu-ibu mulai bergerak ke arah surau. Angin mana yang telah mengabarkan kepada mereka. Ternyata tidak hanya itu, dari arah yang berlawanan sekitar sepuluhan orang ibu-ibu lainnya juga terlihat bergerak ke arah surau. Kerumunan ibu-ibu itu langsung menutup pintu surau seakan menghadang untuk meminta penjelasan.
Seketika Wani mulai menjulur-julurkan lidahnya membolak-balik fakta. Masyarakat terhasut. Pandai benar ia mengambil muka. Wani benar-benar berubah menjadi musang berbulu ayam. Mengapa masyarakat ini lagi-lagi menjadi korban seorang ’Snough’ batinku.
”Apakah ibu-ibu keberatan jika saya menyeleksi putra-putri ibu yang pintar bernyanyi untuk saya sekolahkan di kota ?” Wani menaburkan bisa berulang kali.
Terdengar koor panjang yang melegakan hati Wani. Mata-mata mereka seakan ingin menelanjangi ustazah Aminah. Kerut tak mengerti tergambar di wajah mereka. Sebab apa ustazah Aminah menghalangi maksud baik Wani.
”Bagi yang berminat silakan datang ke rumah saya mendaftarkan diri !”
”Dan ini hanya khusus untuk anak-anak bukan untuk orang dewasa !” Sinis Wani memandang Ustazah Aminah sambil memberi intonasi berbeda pada akhir kalimatnya.
 Setelah berkhotbah panjang lebar, Wani menyudahi kalimatnya. Tak sedikit pun kesempatan diberikan kepada Ustazah Aminah. Aura kemenangan menghiasi wajah Wani. Kesejukan yang dulu terpancar di wajahnya telah hilang entah kemana. Sigap Wani meninggalkan surau itu tanpa sedikit pun berpaling ke arah Ustazah Aminah yang masih terduduk lemas di salah satu tiang surau.
Tiba-tiba seorang wanita 40-an menyeruak dari kerumunan ibu-ibu. Berdiri tepat di depan layaknya pemimpin pasukan.
”Ustazah, memangnya kita ini orang kaya. Kenapa kita menolak niat baik orang lain. Lihat saja, si Wani itu telah sukses. Kami juga ingin anak kami seperti mereka. Tidak selalu harus berbedak lumpur seperti kami ini !” Lantang sekali wanita itu berkata. Koor panjang kembali terdengar membenarkan wanita itu. Entah kenapa Ustazah Aminah masih mengunci suara.
Aku yang akhirnya terjebak di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu itu semakin bertambah gerah tak mampu berkata apa. Sampai akhirnya satu persatu dari mereka meninggalkan surau sambil menggamit anak mereka masing-masing.
                                           *  *  *
Hawa dingin masih meruap. Kabut tipis berarak menutupi hamparan kebun nenas sepanjang jalan desa. Sambil sesekali merapikan jaket tebal mereka, bocah-bocah kecil itu saling bercanda sambil mengepul-ngepulkan uap tipis dari mulutnya itu ke wajah temannya. Beberapa anak yang lain tengah asyik mengukir nama mereka di kaca mobil yang sedang parkir di depan surau dengan jari tangannya. Embun tipis di kaca mobil itu seakan menjadi tinta. Sepagi ini memang dataran tinggi Gayo sangat dingin. Namun, tidak cukup untuk mendinginkan hatiku.
Sia-sia sudah waktuku dua hari ini. Tawaran memperbaiki sampan nelayan selama itu tak kuhiraukan. Sengaja kusediakan dua hari ini menemani ustazah Aminah berkeliling desa. Selama itu pula tak ada pintu rumah yang belum kami datangi di kampung ini. Semuanya bersuka cita mendengar tawaran Wani. Segala penjelasan Ustazah Aminah selalu berujung pada kecurigaan.  Padahal mereka tidak tahu lebih tepatnya tak percaya dengan apa yang telah dikerjakan Wani di surau dua hari yang lalu.
Aku tersentak. Tiba-tiba bocah-bocah kecil yang jumlahnya sekitar 20-an itu bernyanyi riang. Sepertinya mobil itu telah siap berangkat. Ya, suara indah nan polos mereka itulah yang telah mengantarkan Wani memilih mereka dan meyakinkan orang tua mereka.
Perlahan putaran roda mobil itu mulai bergerak. Kepulan debu dan asap hitam meninggalkan bekas kotor di dinding surau. Bocah-bocah kecil itu belum juga berhenti bernyanyi. Aku masih diam terpatung sambil mengumpulkan sisa-sisa bait luka yang tertulang. Akankah mereka seperti lagu sendu itu.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Di lengkung bukit yang mengitari Laut Tawar, kabut itu bergulung semakin tebal.

                                                *  *  *                                     



Keterangan :
*) Lagu daerah Aceh Tengah
    Yatim piatu, o,sayang,o sayang
     Ibu tiada ayah pun tiada