Selasa, 02 Agustus 2016

Lagu Merah Laut Tawar
Cerpen Yusmadi

Berulang kali Ine ingatkanku jangan pernah pergi ke kota lagi. Apalagi sekedar mencuci mata. Tak ada kebahagiaan di sana selain raga yang akan menuai lara. “Hamparan kebun kopi 20 meter dari rumah kita apa belum cukup menyegarkan matamu?” Begitu selalu alasan Ine jika kukatakan bahwa laki-laki perlu banyak hal yang dilihat. Entahlah, jujur kukatakan, semua ini sebenarnya hanya karena iklan di sebuah koran daerah yang kubaca di warung kopi dua hari yang lalu. Aku tertarik dengan tawaran menjadi cleaning service di LSM asing itu.
Sebenarnya tak ada yang perlu kubantah.Walaupun telah tiga tahun berlalu, kekhawatiran musibah itu terulang kembali masih menari-nari di kerut pelupuk mata tuanya. Ya, ombak  26 Desember yang lalu hampir saja memelukku. Waktu itu aku masih berstatus buruh di pelabuhan Ulee Lheue. Untunglah, ketika air laut mulai surut bermeter-meter, aku sedang pergi ke kios membeli sabun mandi. Kendatipun kekuatan lariku tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kecepatan  ombak, aku berhasil selamat setelah terpental ke atas atap sebuah toko berlantai dua. Inilah yang tak pernah diinginkan Ine. Mimpi pun tidak.
Aku masih saja kalut dalam kesendirian. Tak mungkin kugadaikan masa depanku ini hanya sebagai penyiang rumput di kebun kopi Pak Hardi itu selamanya. Bapak yang memang telah sejak lama meninggalkan kami berdua tak lebih seorang tukang kayu. Dari Bapaklah aku belajar membuat sampan. Sering aku diajak menjaring ikan depik di danau Laut Tawar kebanggaan daerah kami itu. Gergaji tua satu-satunya peninggalan Bapak yang mulai karatan itu masih tergantung di dinding papan rumah, tepatnya gubuk kami ini. Kenyataan inilah yang membuatku, setamat SMA dulu, memutuskan merantau ke ibu kota Nanggroeku ini.
“Ine, bakal tempat kerjaku nanti bukan di dekat laut !” tak surut aku mencoba meyakinkan Ine.
“Orang bule itu akan memberi gaji yang sangat lumayan Ine !”
“Lihat si Win, Leni atau Wani. Mereka semua kini sudah bekerja di LSM bule-bule itu.”
“Bahkan cerita orang, si Wani sudah jadi sekretaris di LSM pemberdayaan perempuan pascatsunami milik orang asing.”
Selintas kutangkap titik air menetes di pipi Ine. Gurat kekecewaan membias di wajah tua yang masih menyisakan sisa kecantikan itu. Aku pun terdiam.
*  *  *
Dua minggu berlalu setelah percakapanku dengan Ine yang mengundang gurat kecewa wanita itu. Aku tak berani mengungkit-ungkit persoalan itu lagi. Aku pun telah tenggelam dalam kesibukan mencari upahan membuat sampan. Sampai suatu siang Wani yang telah menjadi  sekretaris di LSM asing itu pulang kampung.
Turun dari sebuah mobil kijang, Wani langsung menuju rumahnya. Blues yang membalut tubuhnya dengan kombinasi coklat muda dan krem terlihat sangat memesona. Sebuah tas kulit kecil tergantung indah di bahunya. Ah, sejenak aku terdiam. Begitulah gambaran orang sukses, pikirku. Tapi, tunggu dulu. Rambutnya...rambutnya yang hitam sebahu itu, bukankah dulunya selalu terlindung oleh sehelai jilbab? Aku bingung. Benakku dihujani tanda tanya bertubi-tubi. Sejenak anganku mengawan.
Setahun yang lalu, Wani adalah gadis kampung yang cukup dikagumi. Selain taat, gadis itu sangat pandai menyanyi. Seusai mengajar Al-Quran kepada anak-anak di surau, tak lupa Wani melantunkan sebuah tembang khas dataran tinggi gayo ini.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Kalau sudah mendengar Wani melagukan lagu itu, tak hendak anak-anak itu melangkah walau setapakpun. Begitulah, anak-anak kecil itu tak ingin pulang dibuatnya. Padahal Ine mereka akan marah besar jika sapi  dan kuda mereka di sawah terlambat digiring ke kandang. 
Aku pun masih mengingat, tangan-tangan mungil bocah usia sekolah dasar yang menjadi murid Wani itu menutup raut kecewa di wajah mereka. Sebagiannya menarik-narik baju Ine mereka. Bocah-bocah kecil itu tak rela guru mereka diambil orang. Namun, bagai karang orang-orang bule itu kukuh sekali meyakinkan Wani. Bakat Wani akan lebih berkembang, begitu selalu alasannya. Lalu bersama helaan angin pesisir Laut Tawar Wani pun akhirnya berangkat meninggalkan dataran tinggi tempat tinggalnya. Meninggalkan tanah Putri Bukes itu.
”Piyan, ke sini !” Aku tersentak. Tiba-tiba saja Wani telah berada lima meter di depanku. Dan...Wani masih mengingat namaku.
”Apa anak-anak sore begini masih mengaji di surau seperti dulu?” sambil bertanya sorot matanya tajam menghunjam ke surau kecil yang hanya berjarak kira-kira 20 meter dari tempat kami berdiri.
”Apa ? Kamu mau ke surau itu ? Kamu tak mungkin ke surau dengan pakaian seperti itu. Apa kata orang kampung sini nanti. Apa kamu hendak mengajarkan ajaran sesat kepada mereka!”
Namun, pertanyaan  itu hanya tertahan sampai di kerongkonganku. Wani berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban apapun dariku. Dari jarak 10 meter kulihat Wani mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kain segitiga berkibar ditiup angin. Dengan sebuah gerakan ringan kain segitiga itu ditutupkan di atas rambut hitamnya. Aku sedikit lega, kenyataan ini menghapus sebagian prasangka burukku.
Surau gempar. Wani kembali bersenandung. Suara merdunya sayup terdengar. Tergesa aku mendekati surau itu. Dari salah satu jendela, kulihat bocah-bocah kecil itu sangat bahagia. Kerinduan yang telah lama membuncah seketika dalam isak haru disela-sela nyanyian. Tepuk tangan tak putus-putus, bergelombang mengikuti irama lagu. Tak terasa aku pun larut.
Di salah satu sudut ruangan terlihat beberapa anak yang saling cekikikan. Mereka ternyata menertawakan temannya yang sepertinya kesulitan mengingat gerakan yang baru mereka pelajari. Mereka tidak boleh ikut bernyanyi sebelum hapal gerakan itu. Selalu saja bocah laki-laki berkepala gundul itu salah menggerakkan tangannya. Seperti kali ini. Teman-temannya mulai menggerakkan tangan ke arah kening. Lalu gerakan tangan itu bersambung turun ke arah dada membentuk garis vertikal. Tetapi ketika anak-anak itu mulai menyambung gerakan ke arah bahu kanan dan bahu kiri membentuk garis horizontal, bocah gundul itu malah menggerakkan tangannya ke arah hidung. Rupanya cairan kuning kental mulai tumpah dari dua lubang hidungnya. Seketika itu anak-anak yang lain menertawakannya lagi.    
Oh, Wani ternyata langsung menghampiri anak-anak itu. Membimbing dengan penuh asih. Kalau sudah seperti ini aku termakan cemburu. Ilmu agamaku walaupun serba kekurangan, selalu kudapat lewat deraan rotan tipis yang senantiasa tergenggam di tangan guru mengajiku dulu. Lain dengan Wani. Dia benar-benar paham jiwa bocah-bocah itu.
Kali ini dengan seksama kuperhatikan bocah gundul itu mulai mengulang gerakan itu sendirian. Satu kali, dua kali. Terlihat masih sedikit tersendat. Namun, kali ketiga tangan kecil itu mulai lancar. Gerakan itu terus mengalir berulang-ulang. Sampai-sampai aku sendiri ikut menghapalnya. Tanpa sadar tanganku bergerak mengikuti gerakan bocah gundul itu. Garis vertikal telah kuselesaikan. Perlahan kini bersambung ke arah dua bahu membentuk garis horizontal. Dan, belum lagi habis tanganku bergerak menyentuh kedua sisi bahu...
Ya..Allah...apa yang telah kulakukan. Bukankah ini gerakan ’Snough Hougranye’? Gerakan inilah yang telah menyebabkan ulama jadi-jadian produk Belanda itu harus hengkang kaki dari bumi Malim Dewa ini berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi, apakah, apakah Wani? Dan, bocah-bocah kecil itu....? Seketika seluruh persendianku terasa lunglai. Aku mulai mencium amis petaka. Durjana manalagi yang hendak menggagahi bumiku ini. Ah, aku baru ingat, kemana pula ustazah Aminah ? Tak mungkin Wani bisa seleluasa itu bila ustazah itu ada. Ya, Allah, kusaksikan dari kejauhan gurat merah senja mulai menyelubungi Puncak Pantan Terong. Kali ini gurat itu semakin memerah.
                                                *  *  *
Ustazah Aminah masih beradu mulut. Bibir Wani yang bersepuh lipstik merah itu berkali-kali mematahkan pendapat Ustazah Aminah. Bak air bah Wani terus berkata-kata. Benar-benar bermanfaat ternyata pengetahuan agama yang dimiliki Wani. Walaupun kali ini sedang ia gunakan untuk menyungkurkan kebenaran. Ustazah Aminah pun hanya bisa menangis. Aku yang berusaha meleraikan tertahan oleh kerumunan anak-anak yang perlahan-lahan mulai membentuk dua kubu. Sebagian menarik-narik lengan ustazah Aminah dan sebagian lagi berada di balik punggung Wani. Sementara dua tiga anak duduk bengong tak tahu menahu.
Dari ujung lorong desa beberapa orang ibu-ibu mulai bergerak ke arah surau. Angin mana yang telah mengabarkan kepada mereka. Ternyata tidak hanya itu, dari arah yang berlawanan sekitar sepuluhan orang ibu-ibu lainnya juga terlihat bergerak ke arah surau. Kerumunan ibu-ibu itu langsung menutup pintu surau seakan menghadang untuk meminta penjelasan.
Seketika Wani mulai menjulur-julurkan lidahnya membolak-balik fakta. Masyarakat terhasut. Pandai benar ia mengambil muka. Wani benar-benar berubah menjadi musang berbulu ayam. Mengapa masyarakat ini lagi-lagi menjadi korban seorang ’Snough’ batinku.
”Apakah ibu-ibu keberatan jika saya menyeleksi putra-putri ibu yang pintar bernyanyi untuk saya sekolahkan di kota ?” Wani menaburkan bisa berulang kali.
Terdengar koor panjang yang melegakan hati Wani. Mata-mata mereka seakan ingin menelanjangi ustazah Aminah. Kerut tak mengerti tergambar di wajah mereka. Sebab apa ustazah Aminah menghalangi maksud baik Wani.
”Bagi yang berminat silakan datang ke rumah saya mendaftarkan diri !”
”Dan ini hanya khusus untuk anak-anak bukan untuk orang dewasa !” Sinis Wani memandang Ustazah Aminah sambil memberi intonasi berbeda pada akhir kalimatnya.
 Setelah berkhotbah panjang lebar, Wani menyudahi kalimatnya. Tak sedikit pun kesempatan diberikan kepada Ustazah Aminah. Aura kemenangan menghiasi wajah Wani. Kesejukan yang dulu terpancar di wajahnya telah hilang entah kemana. Sigap Wani meninggalkan surau itu tanpa sedikit pun berpaling ke arah Ustazah Aminah yang masih terduduk lemas di salah satu tiang surau.
Tiba-tiba seorang wanita 40-an menyeruak dari kerumunan ibu-ibu. Berdiri tepat di depan layaknya pemimpin pasukan.
”Ustazah, memangnya kita ini orang kaya. Kenapa kita menolak niat baik orang lain. Lihat saja, si Wani itu telah sukses. Kami juga ingin anak kami seperti mereka. Tidak selalu harus berbedak lumpur seperti kami ini !” Lantang sekali wanita itu berkata. Koor panjang kembali terdengar membenarkan wanita itu. Entah kenapa Ustazah Aminah masih mengunci suara.
Aku yang akhirnya terjebak di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu itu semakin bertambah gerah tak mampu berkata apa. Sampai akhirnya satu persatu dari mereka meninggalkan surau sambil menggamit anak mereka masing-masing.
                                           *  *  *
Hawa dingin masih meruap. Kabut tipis berarak menutupi hamparan kebun nenas sepanjang jalan desa. Sambil sesekali merapikan jaket tebal mereka, bocah-bocah kecil itu saling bercanda sambil mengepul-ngepulkan uap tipis dari mulutnya itu ke wajah temannya. Beberapa anak yang lain tengah asyik mengukir nama mereka di kaca mobil yang sedang parkir di depan surau dengan jari tangannya. Embun tipis di kaca mobil itu seakan menjadi tinta. Sepagi ini memang dataran tinggi Gayo sangat dingin. Namun, tidak cukup untuk mendinginkan hatiku.
Sia-sia sudah waktuku dua hari ini. Tawaran memperbaiki sampan nelayan selama itu tak kuhiraukan. Sengaja kusediakan dua hari ini menemani ustazah Aminah berkeliling desa. Selama itu pula tak ada pintu rumah yang belum kami datangi di kampung ini. Semuanya bersuka cita mendengar tawaran Wani. Segala penjelasan Ustazah Aminah selalu berujung pada kecurigaan.  Padahal mereka tidak tahu lebih tepatnya tak percaya dengan apa yang telah dikerjakan Wani di surau dua hari yang lalu.
Aku tersentak. Tiba-tiba bocah-bocah kecil yang jumlahnya sekitar 20-an itu bernyanyi riang. Sepertinya mobil itu telah siap berangkat. Ya, suara indah nan polos mereka itulah yang telah mengantarkan Wani memilih mereka dan meyakinkan orang tua mereka.
Perlahan putaran roda mobil itu mulai bergerak. Kepulan debu dan asap hitam meninggalkan bekas kotor di dinding surau. Bocah-bocah kecil itu belum juga berhenti bernyanyi. Aku masih diam terpatung sambil mengumpulkan sisa-sisa bait luka yang tertulang. Akankah mereka seperti lagu sendu itu.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Di lengkung bukit yang mengitari Laut Tawar, kabut itu bergulung semakin tebal.

                                                *  *  *                                     



Keterangan :
*) Lagu daerah Aceh Tengah
    Yatim piatu, o,sayang,o sayang
     Ibu tiada ayah pun tiada



  

Menunggu Malaikat
Cerpen Yusmadi


Wak Mae, orang kaya nan pelit itu, akhirnya meninggal dunia. Meninggalkan hartanya yang meruah dan istrinya seorang saja tanpa anak semata pun. Cek Dah, istrinya, selalu memuji kesetiaan suaminya itu semasa hidup. Menurutnya, Wak Mae adalah suami yang boleh tanding urusan kesetiaan. Tak ada di gampong[1] ini laki-laki hanya beristri satu kalau sudah punya harta sedikit saja.
”Lihat Apa Dolah itu, lembunya baru beranak satu saja langsung kawin lagi!” Berbinar-binar mata Cek Dah kalau sedang menyampaikan kalimat itu di depan ibu-ibu sepengajian di dayah[2] dekat rumahnya. Perihal kemandulan Wak Mae tak pernah menjadi masalah baginya. Harta telah menutup segenap kekurangan suaminya. Sampai ketika, ya, sampai ketika Cek Dah menemukan surat wasiat di laci lemari pakaiannya.
Memang, hebat benar Wak Mae menyiapkan kematiannya itu. Mungkin dia tahu, tak kan ada orang yang memedulikan jenazahnya nanti karena kekikirannya. Lihat saja, mulai dari keranda pengusungnya, tahu sudah siapa Wak Mae itu semasa hidupnya. Lihatlah kain kasap bermotif kaligrafi Arab yang menutupi peti jenazah itu. Khusus ditenun untuknya jauh-jauh hari. Kilapnya memantul sembarangan. Membuat berair mata para pengantar jenazah itu karena silau. Hendak dibawa pula rupanya hartanya itu.
Untuk kenyamanan ’perjalanan’nya itu, ternyata Wak Mae telah pula menyeleksi sekian pemuda tangguh di gampong ini. Kisah-kisah ganjil yang pernah didengarnya membuat Wak Mae benar-benar menetapkan kriteria yang tak tanggung-tanggung. Dia tak mau kerandanya berguling di jalan hanya karena pengusungnya terkena kurang darah. Atau seperti kisah jenazah Mak Aini. Jenazah wanita tua itu terburai di jalan karena tinggi tubuh pengusungnya tidak sama. Berat keranda akhirnya bertumpu pada pengusung paling tinggi yang berada di depan. Sialnya, tak tersedia pula orang sebagai cadangannya. Untuk itu, jauh-jauh hari dicarinyalah pemuda gampong sesuai seleranya: kesehatan, berat, tinggi badan haruslah ideal. Sasaran pertamanya adalah pemuda yang kecil kemungkinan meninggalkan gampong ini.
Sampai di sini, Cek Dah masih tenang-tenang saja. Menurut wanita yang hanya tamat SD itu, cerita tentang apa yang sudah dilakukan Wak Mae semasa hidupnya yang ditulis dalam surat wasiat, sebagai bukti kematangan berpikir suaminya semata. Bagian akhir dari surat wasiat itulah yang membuat detak jantung Cek Dah melebihi atlet lari jarak pendek. Dan untuk itu pun, Cek Dah tak perlu bersusah-susah. Wak Mae telah pula menyiapkannya.
” Sebaiknya kami lebih dahulu tiba di pemakaman, bukan begitu Cek Dah?”
Pu ka peugah nyan[3], tugas kalian kan di akhir pemakaman?”
” Tenanglah Cek Dah, anggap saja itu sedekah kami untuk Wak Mae. Jadi, biarlah kami menyambut jenazah Wak Mae dengan tilawah pula. Kelebihan waktu di awal tidak perlu dihitung!”   
Sejak subuh, sepuluhan pemuda itu telah berkumpul di rumah Wak Mae. Mereka datang dari desa yang berbeda. Sepertinya pemuda-pemuda itu tak sabar hendak menunaikan tugasnya. Terlebih setelah melihat kelompok orang yang memandikan jenazah langsung pulang dengan uang tergenggam di tangan. Semakin bersemangatlah mereka. Setiap urusan yang berhubungan dengan jenazah Wak Mae haruslah dibayar tunai. Begitu salah satu bunyi wasiat itu.
Sebenarnya, banyak sekali orang yang mengincar tugas yang satu itu. Namun, tak sembarangan, lagi-lagi Wak Mae telah menetapkan sejumlah kriteria. Minimal pernah memenangkan lomba tilawatil Quran tingkat kemukiman[4]. Begitu salah satu kriterianya. Tidak mudah memang. Tidak semua qari mau dibayar oleh Wak Mae. Begitupun, tak sedikit yang langsung melakukan tawar-menawar dengan Wak Mae. Bukan soal bagi Wak Mae. Menurut laki-laki itu, inilah puncak dari segala persiapan. Acara inti, begitulah kira-kira. Hendak dipersembahkan semua hartanya untuk menunda barang sesaat kedatangan malaikat penjaga kubur itu nanti. Ya, para qari itu diminta mengaji siang dan malam di kuburannya nanti selepas rombongan jenazah pergi. Wak Mae yakin benar. Selepas tujuh langkah rombongan pengantar jenazah meninggalkan kuburan maka jenazah segera diadili malaikat. Sedangkan para qari akan tetap tinggal. Dengan begitu  kuburannya tetap berpenjaga dan tidak ditinggalkan. Pastilah para malaikat itu akan menunda tugasnya. Paling tidak sampai hartanya habis untuk membiayai kebutuhan para qari itu. Begitu pikirnya.
Sejak membaca akhir dari surat wasiat itu, Cek Dah mumang bukon le[5]. Wanita itu harus menyiapkan segala keperluan para qari tersebut. Mulai dari makan pagi, siang dan malam sampai rokok kretek dengan segala merk. Cek Dah pula yang harus mengantarkannya sendiri. Mencari orang lain untuk mengantarkan berarti bertambah pula orang yang harus dibayar tunai. Tidak lupa Cek Dah harus mencari tukang sesegera mungkin untuk membangun tempat berteduh bagi para qari dari sengatan matahari atau pun hujan. Dan itu harus dilakukannya sekarang, sebelum malam tiba. Tak ada lagi air mata yang menetes di pipinya seperti ketika Wak Mae meninggal subuh tadi.

*  *  *

Iring-iringan pengusung jenazah terus bergerak merayap. Langkah pemuda-pemuda gagah itu teratur rapi. Mereka tidak boleh mengusik ’ketenangan’ Wak Mae hanya karena kesalahan sedikit saja. Begitu pesan Wak Mae.
Beberapa saat lagi sampailah mereka ke pekuburan. Barisan rombongan pengantar jenazah mulai mengecil memanjang. Semakin dekat ke pekuburan, jalan yang dilalui semakin kecil. Kiri kanan jalan masih ditumbuhi belukar. Liang untuk jenazah Wak Mae berada sedikit ke ujung. Mereka harus melangkahi beberapa kuburan terlebih dahulu untuk sampai ke sana.
Keranda jenazah perlahan diturunkan. Penggali kubur memberikan kode kepada imum meunasah[6] bahwa liang siap dipakai. Para qari terlihat duduk rapi di salah satu sisi kuburan. Belum lagi imum meunasah memulai proses penguburan, kegaduhan terjadi di barisan belakang. Para pemuda pengusung jenazah membuat gaduh. Mereka menuntut upah segera ditunaikan. Sementara, Cek Dah tidak bersama mereka.
”Cek Dah melarikan diri! Cek Dah melarikan diri! Teriak mereka. Seketika suasana berubah gerah. Bagaimanapun, orang-orang tidak biasa dengan suasana pekuburan yang seperti itu.
”Tenang, tenanglah saudara-saudara!” Imum meunasah urun suara.
” Kami menuntut hak kami, Teungku[7]!
” Bukankah bersabar itu lebih baik! Tidak mungkin Cek Dah melalaikan tanggung jawabnya!”
”Mungkin saja, Teungku. Buktinya dia tidak ada di sini! Biarkan kami mengusung kembali jenazah itu ke rumahnya!”
Astaghfirullaaah!”
Kegaduhan itu tidak berkurang sedikit pun. Sampai terdengar suara Cek Dah yang berlari tergopoh-gopoh. Di belakangnya disusul beberapa orang tukang kayu. Cek Dah segera menemui pemuda-pemuda pengusung jenazah itu. Tidak lama pemuda-pemuda itu pun meninggalkan pekuburan. Beberapa saat kemudian barulah proses pemakaman dilanjutkan.

*  *  *

Tiga hari berlalu. Lantunan tilawah Al-Quran masih terus bergema di kuburan Wak Mae. Para qari seakan tidak merasa lelah. Berbungkus-bungkus rokok kretek telah mereka habiskan. Tak terhitung lagi berapa kali Cek Dah harus hilir mudik mengantarkan kopi. Satu hal yang berbeda.  Kini mereka tidak lagi mengaji dengan irama seperti di MTQ-MTQ yang mereka ikuti. Tetapi semakin cepat saja. Mereka pun tidak lagi menunggu giliran secara tertib untuk membaca. Sekarang mereka langsung memberi jatah bacaan masing-masing sehingga mengkhatamkan Al-Quran menjadi lebih cepat. Bukan tidak beralasan. Upah yang akan mereka terima bergantung dari banyaknya mereka mengkhatamkan Al-Quran. Mulailah para qari itu memasang berbagai strategi.
 Terasa benar susah di wajah Cek Dah. Wak Mae tidaklah cukup meninggalkan uang tunai. Bertambah-tambahlah beban wanita itu. Sekarang Cek Dah tidak hanya bertugas melayani keperluan qari itu. Tetapi ikut pula memikirkan cara menghasilkan uang tunai dari harta Wak Mae. Para qari itu tetap menuntut dibayar tunai setiap mereka berhasil mengkhatamkan Al-Quran.
Di hari keenam kematian Wak Mae, rumahnya berubah menjadi rumah lelang. Cek Dah melelang setiap barang yang bisa dijadikan uang. Besok adalah hari ketujuh kematian suaminya. Sesuai adat di gampong ini bahwa keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan kanduri senujoh[8]. Itu artinya Cek Dah memerlukan uang tunai yang tidak sedikit. Padahal Cek Dah  harus pula tetap menyediakan upah para qari. Tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan sanak keluarganya yang tidak pernah hadir dari hari pertama kematian suaminya. Bertambah-tambah saja duka wanita itu. Kini kesehatannya pun perlahan terus menurun.
Malam ketujuh, Cek Dah benar-benar tidak mampu bergerak lagi. Wanita itu terbaring lemah setelah seharian menyiapkan keperluan kanduri senujoh. Rumah belum juga dibersihkannya walaupun kanduri tinggal menunggu waktu. Tuba tikoh[9] yang dibelinya pagi tadi masih tergeletak di atas meja dapur, belum juga disentuh. Padahal tikus-tikus berlarian kesana kemari di rumahnya yang tak pernah dirawatnya lagi itu. Terserahlah apa kata orang esok harinya.
Dalam keadaan seperti itu, dipaksanya juga membuat kopi untuk para qari itu. Dalam keremangan malam, diutusnya seorang anak kecil mengantarkan kopi ke kuburan. Ah, anak kecil itu pun pintar pula meminta upah. Tidak lupa Cek Dah menitip pesan agar menunggui sekaligus menanyakan jumlah khatam Al-Quran mereka.
”Cek Dah! Cek Daaah!” Kira-kira sejam berselang Cek Dah dikejutkan teriakan anak kecil tadi. Tergopoh-gopoh sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Cek Dah melangkah ke luar rumah.
”Ada apa Taufik!” Teriak Cek Dah gusar.
Awak nyan...awak nyan...Cek!” Suara anak kecil itu tertahan. Sepertinya sebuah pemandangan menakutkan baru saja berlalu dari matanya.
”Tenanglah...saket that ulee lon nyo[10]!” Cek Dah bertambah gusar.
“Awak nyan Cek! Mereka…mereka pingsan semua, tidak bergerak-gerak lagi!”
Bagai tak menginjak bumi, Cek Dah berlari ke pekuburan. Hilang sudah sakit yang tengah dirasanya. Langkah Cek Dah terseok-seok di tengah keremangan malam. Sesampai di kuburan suaminya. Sejenak napas wanita itu seolah hendak berhenti. Mulutnya menganga. Matanya melotot. Mulut para qari itu berbusa. Tubuh mereka bergelimpangan. Sebagiannya tergeletak di atas kuburan Wak Mae. Keringat dingin  membanjir. Kerongkongan tercekat. Kepalanya berdenyut. Apakah dalam keadaan sakit tadi dia telah salah memasukkan bubuk kopi dengan tuba tikoh yang dibelinya pagi tadi? Bukankah warnanya sama?

*  *  *

  














[1] Desa (Aceh)
[2] Pesantren
[3] Ngomong apa kalian!
[4] Gabungan beberapa buah desa. Sistem pemerintahan terkecil di Aceh di atas desa.
[5] Uring-uringan. Pusing tujuh keliling.
[6] Imam mushala/surau desa
[7] Ustaz/guru spiritual
[8] Kenduri pada hari ketujuh selepas seseorang meninggal dunia
[9] Racun tikus
[10] Kepala saya sedang pusing