Reuncong
Reuncong
Cerpen Yusmadi
Kutaraja, November 1873
Langit Baiturrahman merah
berdarah. Setiap jengkal tanahnya disesaki dengan mayat. Seketika bau
anyir meruap menyesaki paru-paru. Kubah masjid berderak patah mencium bumi.
Asap membubung tinggi meliuk-liuk menuju langit. Dalam sekejap bangunan mulia
dari kayu itu hitam mengarang. Kaphee[1]
Belanda telah membakarnya.
Enam kapal perang Belanda mendarat di Pantee Ceureumen, Ulee Lheue. Dalam[2]
dalam keadaan bahaya. Sultan Mahmud Syah meradang. Peperangan meluas. Geram.
Panik. Aroma syuhada menyebar tercium ke segenap penjuru. Menyerobot masuk ke
setiap celah bilik penduduk gampong[3].
Melampaui gunung, merambah belantara.
*
* *
“Samaaan!” Seorang wanita lima
puluhan berteriak gusar. Cairan warna merah daun ranup[4]
yang telah bercampur dengan air liur menetes dari mulutnya. Berkali-kali Mak
Lami yang sudah tak bersuami itu membetulkan letak selendang yang menutupi
rambut putihnya. Bingung. Dengan tertatih-tatih Mak Lami menuruni anak tangga rumoh manyang[5].
Tapak kaki yang tak mengenal alas itu langsung diseretnya ke halaman belakang.
Seorang pemuda bertelanjang
dada tampak sedang menekuni pekerjaannya. Dari raut wajahnya tampak sekali ia tak peduli
dengan keadaan di sekitarnya. Pemuda dua puluh tahunan itu tak ingin pekerjaannya terganggu. Dentingan
logam terdengar bersahutan. Sesekali
angin dari rimbunan bak mulieng[6]
bertiup mempermainkan sarung kumal yang dikenakan sekenanya oleh pemuda itu.
Warna kulitnya yang kecoklatan tersepuh oleh keringat sehingga kelihatan
mengkilat diterpa matahari. Rahangnya yang kuat dilengkapi dengan hidungnya
yang mancung serta alis yang terukir lebat menegaskan ketampanan laki-laki muda
itu. Tak salah bila banyak aneuk dara[7]
yang mengaguminya.
Sudah sebulan ini Saman hanya menghabiskan waktunya di pandee-pandee[8].
Reuncong yang diinginkannya tak juga kunjung selesai. Telah lama benar ia
menginginkan reuncong yang sempurna.
Reuncong meupucok[9]
peninggalan ayahnya tak sedikitpun berani disentuhnya. Reuncong itu telah
menjadi pusaka keluarga. Lapisan emas yang menutupi ukiran di hulu reuncong itu
masih tetap mengkilap. Sebenarnya reuncong itu bukanlah sepenuhnya milik
ayahnya. Reuncong dengan jenis seperti itu hanya dimiliki kaum bangsawan.
Seorang Uleebalang menghadiahi reuncong itu untuk ayahnya sebagai jasa
kesetiaan.
Saman dengan perlahan mulai
mengusap hulu reuncong. Hulu reuncong yang dibuat dari tanduk sapi itu seketika
mengkilap. Hulu reuncong itu dibuatnya meucugeek[10]. Hulu dengan penahan tangan seperti itu tidak mudah lepas bila hendak
mencabutnya dari sasaran. Saman telah menggadaikan segenap rasa dan cintanya
untuk reuncong itu.
Mak Lami semakin mempercepat
langkahnya. Sesekali ia
menggerutu bila kakinya terhalang oleh rambatan pohon ranup.
“Sampai kapan reuncongmu itu akan
siap, Saman!” Mak Lami
berteriak jengkel. Cairan merah sebentar-bentar berhamburan dari mulutnya.
“Teungku Lah tetangga kita
telah bergabung dengan pasukan Sultan pagi tadi. Mereka akan menghadang kapai prang kaphee[11]
Belanda di Pantee Ceureumeen.” Mak Lami bertambah gusar. Anak laki satu-satunya
itu tak sedikitpun menoleh kepadanya.
“Hai aneuk meutuah[12],
apakah kamu hendak menonton saja rumah Allah masjid Baiturrahman yang telah hangus
dimakan api?” Suara wanita tua itu terdengar histeris. Tiba-tiba wajah Saman
mengeras. Rahangnya bergerak-gerak. Namun tetap saja pandangannya sedikitpun
tak beralih dari reuncongnya. Mak Lami segera menahan ucapannya. Ia paham benar
tabiat anak laki-lakinya itu. Tentulah perkataannya tadi telah masuk dan
menusuk ke hatinya. Walaupun
tak ada kata-kata yang keluar dari mulut anaknya itu.
Mak Lami menyeret kakinya
menjauh dengan perasaan kalut. Wanita itu tidak langsung memasuki rumoh manyangnya. Dipetiknya pucuk daun mulieng yang tumbuh di sekeliling
rumahnya sambil mengumpulkan buah mulieng
yang berjatuhan di tanah. Biasanya daun
mulieng itu akan dimasaknya dengan pliek
u dan buahnya akan ditumbuk dan dijadikan kerupuk. Hampir seluruh penduduk gampong melakukan hal yang sama. Dengan
cara itu belum pernah sekalipun mereka kekurangan bahan pangan.
* * *
Semburat merah menyembul dari
celah-celah bukit. Cahaya api yang bersumber dari panyot culot[13]
mulai menerangi rumah-rumah penduduk gampong.
Hampir semua penduduk gampong mempercepat
kesibukan mereka senja itu. Seolah mereka khawatir bila pekerjaannya belum
selesai dan malam telah menyambutnya. Letak rumah satu dengan yang lainnya yang
agak berjauhan membuat suasana senja kali ini semakin terasa mencekam. Saman baru saja menyempurnakan wudhunya.
Tetesan air berjatuhan dari wajahnya. Diambilnya kupiah[14]
yang tersangkut di kayu dinding sumur yang terbuat dari pelepah rumbia.
Dibetulkannya letak kain sarungnya sambil berjalan menuju meunasah[15].
Selang beberapa saat, suara merdunya telah mengalun kuat mengajak manusia untuk
segera menyembah Sang Pencipta.
Selepas salat magrib, Teungku Jafa selaku imum meunasah[16]
meminta Saman dan beberapa pemuda tetap tinggal di meunasah. Ada hal penting yang hendak mereka bincangkan. Tidak
seperti biasanya, Saman seperti menangkap kesan rahasia dari nada ucapan
Teungku Jafa.
Tanpa menunggu lama, Teungku
Jafa meminta salah seorang pemuda menggelar tikar. Kedelapan pemuda yang
diminta untuk ikut pertemuan itu segera mengambil posisi melingkar. Saman
mencoba membaca raut mimik pemuda-pemuda teman sepengajiannya itu. Kepada
merekalah Teungku Jafa menghabiskan waktu-waktunya mengajarkan seluk beluk
agama setiap pekan. Leman pemuda yang biasanya banyak cakap hanya diam terpaku
menatap ukiran tikar pandan yang dijalin warna-warni. Zulfikar masih menekuni zikirnya
dengan tasbih yang melingkar di tangannya. Begitupun dengan yang lainnya. Semua
menampakkan keseriusan di wajah mereka membuat Saman semakin yakin akan ada hal
penting yang akan terjadi. Pastilah urusan ini melibatkan mereka.
Saman mulai menduga-duga. Apakah
pertemuan ini ada hubungannya dengan khabar yang sempat di dengarnya siang tadi
dari bisik-bisik penduduk gampong.
Pasukan kesultanan tidak mampu membendung pendaratan pasukan Belanda di Pantee[17]
Ceureumen. Terbetik khabar pasukan Belanda hendak mengepung dan menguasai Dalam. Sampai siang tadi pasukan
Belanda telah bergerak membumihanguskan
Masjid Baiturrahman di Kutaraja. Teuku Imeum
Lueng Bata dan pasukannya sedang berjuang mempertahankan Baiturrahman.
“Begitulah kondisinya, wahai aneuk-aneuk lon[18].”
Teungku Jafar mengakhiri penjelasannya. Saman dan teman-temannya tidak sanggup
membendung gelombang panas yang tiba-tiba mulai menjalari ke setiap aliran
darah mereka.
“Dan kau Saman, kumpulkanlah
reuncong-reuncong terbaikmu!”
“Geut[19],
Teungku” Saman menyahut takzim. Siap dengan amanah yang dibebankan padanya. Semua penduduk gampong paham benar tentang kelihaian
Saman untuk urusan yang satu itu.
“Apakah para wanita dan
anak-anak harus kita ungsikan, Teungku?” Karim yang sedari tadi diam, menyela.
Ujung matanya menatap tajam ke arah Saman.
“Semua strategi akan kita
bahas besok subuh bersama kaum tua.” Teungku Jafa menutup pertemuan dan mengisyaratkan waktu Isya sudah
tiba. Saman dan pemuda lainnya segera membubarkan diri turun dari tangga meunasah untuk memperbarui wudhu mereka.
* * *
Mak Lami masih membelah
tumpukan buah pinang di halaman rumahnya dengan rampagoe[20]
ketika seorang gadis datang menyapa. Kerudung hijau muda yang dikenakan gadis
itu sesekali dicandai angin. Langkahnya tanpa ragu memasuki halaman rumah Mak
Lami. Dari gelagatnya nyatalah bahwa gadis itu sudah terbiasa ke rumah itu.
“Mak, ini ada sedikit kuah
lemak.” Sambil menyerahkan wadah kecil yang sedari tadi dipegangnya, gadis itu
langsung duduk di samping Mak Lami. Tangannya yang halus dengan cekatan
membantu pekerjaan Mak Lami. Sepertinya ada urusan sangat penting yang hendak
disampaikannya pada wanita tua itu.
“Cut Intan, kau selalu membuat
Mak malu.”
“Dalam minggu ini sudah empat
kali kau mengirimkan makanan.” Mak Lami menggenggam tangan gadis itu. Gadis yang dipanggil Cut Intan itu
hanya tersipu. Rona merah membayang di pipinya. Sebuah senyum terukir manis di
tipis bibirnya. Dalam keadaan seperti itu kecantikan benar-benar terukir penuh
di wajahnya.
Cut Intan gadis yang sedang
memasuki masa remaja itu tinggal tidak sampai saboh batee[21]
dari rumah Mak Lami. Teuku Wahab ayahnya adalah orang paling berada di gampong ini. Mak Lami sangat
menghormati dan menyayangi gadis itu. Gadis yang menurut Mak Lami memiliki
dunia akhirat. Cut Intan sangat rajin ke meunasah
mengikuti pengajian. Saman sesekali waktu juga ikut mengajarkan ilmunya
jika Teungku Jafa berhalangan. Mak Lami mulai menjaga jarak dengan Cut Intan
ketika penduduk gampong mulai ramai
membincangkannya.
Teuku Wahab memiliki banyak harta.
Tanah yang dimilikinya tersebar hampir di setiap penjuru gampong. Rumah Teuku Wahab sangat mencolok di antara rumah penduduk
lainnya. Setiap kayu utama penyangga rumahnya terdiri dari kayu pilihan. Banyak
penduduk merasa iri padanya. Entahlah. Mak Lami terlalu lelah kalau harus memikirkan itu pula.
“Cut Intan, lekaslah kau
pulang! Mak khawatir orang tuamu mencarimu.” Mak Lami bimbang.
“Mak tidak suka lon[22]
di sini?” Cut Intan menatap Mak Lami. Wanita tua itu menjadi serba salah. Ia tahu perkataannya tadi telah
menyentuh kalbu gadis cantik itu. Biasanya tak pernah Mak Lami menanyakan hal
itu. Baginya Cut Intan telah dianggap sebagai anaknya sendiri.
“Engkau tahu Cut, kondisi
sekarang sedang tidak tenang. Lebih aman jika anak gadis sepertimu berada di rumah
orang tuamu.” Mak Lami menarik napas lega. Mak Lami merasa ia telah memberi
alasan yang tepat. Cut Intan mengangguk mengerti. Dipendamnya dalam-dalam hasrat
hendak berkeluh dengan mak Lami. Diambilnya nampan kecil yang sudah dipindahkan
isinya oleh Mak Lami. Cut Intan perlahan bangkit, sambil mengibas remah buah
pinang yang bertaburan di sarung yang dipingganginya.
Cut Intan hendak meninggalkan
Mak Lami, ketika Saman tiba-tiba muncul melewati mereka hendak menaiki tangga
rumah. Cut Intan menoleh sambil mengangguk kecil sebagai isyarat mohon pamit.
Saman membalas anggukan Cut Intan lalu bergegas menaiki anak tangga rumahnya.
Cut Intan tidak bisa berbohong. Debar-debar kecil menjalari tubuhnya. Rasa yang
akan terus dijaganya paling tidak untuk satu hari lagi. Sampai...ah, remuk hati
Cut Intan membayangkannya. Andai kau tahu, Saman. Cut Intan perlahan berlalu. Meninggalkan
sebuah senyum terukir ranum di wajahnya. Senyum yang menyisakan guratan kepedihan. Senyum yang
sering dinantikan oleh setiap pemuda di gampong
itu, juga Karim.
*
* *
Kabut tipis masih memeluk
jalan setapak dekat Indrapuri. Hawa dingin memaksa dua puluhan pemuda mempercepat langkah. Selepas Subuh
mereka harus sudah keluar dari gampong
itu. Meninggalkan orang-orang yang mereka cintai untuk
sesaat menahan rindu. Membiarkan mereka merajut doa untuk sebuah pertemuan
kembali yang tak pasti. Namun, tidak bagi Cut Intan.
Sepasang mata bening itu telah
menunggu sejak tengah malam. Lewat celah jendela ditatapnya iring-iringan itu
dengan segenap kepedihan. Mukena
masih menutupi tubuhnya selepas salat malam tadi. Remuk sudah hati wanita muda
nan cantik itu. Mengapa dirinya harus
dihadapkan pada keputusan yang berat. Kalau saja cinta itu cepat mereka sadari.
Sepucuk reuncong masih
tergenggam di tangannya. Saman memberinya sore tadi selepas salat Ashar di meunasah. Terjawab sudah semua
prasangka di antara mereka selama ini. Cut Intan diamuk rasa. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Kekakuan Saman
selama ini hanyalah sebuah pengorbanan seorang pemuda yang hendak menjaga fitrahnya
semata. Tapi, mengapa harus terlambat.
”Dek Cut, simpanlah reuncong ini! Jika keinginan kita sejalan dengan
kehendak Allah…” Saman menata degup yang meronta dalam tubuhnya. Baik
ditumpahkan saja semua rasa ini. Biarlah mengalir menjadi sungai yang
memberinya kehidupan.
“…Terimalah reuncong ini
sebagai mahar kita nanti!”
Mata indah itu dibasahi
bening-bening kristal. Serasa jiwanya melayang menggapai syurga. Hawa dingin
dan nyaman seketika mengepung seluruh tubuhnya. Mengalir ke setiap aliran
darahnya. Namun, ketika sampai ke saraf-saraf
kesadarannya, tahulah gadis itu bahwa semuanya kini sudah tak berarti
lagi. Tahukah kau Saman. Sore
ini pula Karim telah datang ke rumahku. Meminangku. Meminta setengah jiwa yang telah kugadaikan untukmu sejak lama.
Ah, mata bening itu tak mampu lagi menyimpan dukanya.
*
* *
Januari, 1874
Mak
Lami belum juga menuntaskan salat malamnya. Hampir setengah jam wanita yang
kini tinggal sebatang kara itu larut dalam doa panjangnya. Tak ada lagi yang
akan meneruskan generasinya. Berita dari Teuku Jafa siang tadi bagai memotong
urat nadinya. Pilu merajam segenap jiwa wanita tua itu.
Saman terbunuh. Kabar itu
berhembus sejak siang tadi ke seluruh penduduk gampong bagai wabah kolera yang sedang berjangkit saat itu.
Selentingan yang terdengar bahwa Masjid Baiturrahman dan Dalam telah jatuh ke tangan Belanda. Sultan bersama Panglima Polem
dan Teuku Baet menghindar ke Lueng Bata. Van Swieten, Jenderal Belanda itu
mengoyak-koyak pertahanan pasukan Aceh. Belanda behasil mengepung Dalam dengan kekuatan penuh.
Meninggalkan gelimpangan ribuan tubuh syuhada.
Ketakutan menebar kemana-mana.
Seluruh penduduk bersiap-siap mengungsi. Takut kalau-kalau serangan Belanda
sampai ke daerah mereka. Tidak dengan Cut Intan. Seharian gadis malang itu
hanya mengurung diri di kamarnya. Reuncong pemberian laki-laki yang dicintainya
itu tak lepas dari matanya. Sedikitpun dia tak disibukkan dengan rencana
ayahnya. Padahal, besok Teuku Wahab akan menikahkannya dengan Karim.
* * *
Cut Intan terus berharap
keajaiban Tuhan akan terjadi di depan matanya. Bayang-bayang Saman tak bisa
hilang dari pikirannya. Sedikitpun tak diperhatikannya Teungku Qadhi yang
bersiap membacakan aqad. Pandangannya hanya menerawang menembus dinding rumahnya.
Resah tak mau hilang dari jiwanya.
Karim menarik nafas lega.
Senyum membias di wajah pemuda itu. Tercapai sudah keinginannya. Benarkah?
Entahlah. Wajah pemuda itu seperti masih menyimpan sejuta keinginan terpendam.
BOM! BOM! DOR! DOR!
”Aaaaa!!”
”Seraang!!”
”Allaaahu Akbar!! Allaaahu Akbar!!”
Seisi rumah terperanjat. Cut
Intan masuk kamar. Di tangannya kini tergenggam sebilah reuncong. Gadis itu
segera keluar menyusul Teuku Wahab dan Karim yang lebih dulu keluar.
”Perang! Belanda
sampai..., mengungsi...mengungsi!”
Panik. Takut. Geram. Seketika menyebar ke setiap penjuru. Suara bedil,
mesiu menderu-deru. Jeritan dan tangis bayi menggapai-gapai langit. Para lelaki
menghunus rencong dan kelewang. Teungku Jafa langsung memimpin perlawanan.
Peperangan yang tidak seimbang
itu terus berkobar. Api menjalar kemana-mana. Menghanguskan apa saja. Para
wanita berlari tak tentu arah. Anak-anak yang terjatuh dari gendongan ibunya
terinjak kehilangan nyawa. Van Swieten, Jenderal Belanda itu benar-benar tak
memberikan kesempatan.
”Aneuk lon.....aneuk looon!”[23]
Jerit seorang wanita sambil memeluk bayinya yang telah bersimbah darah.
Dari arah Barat terlihat asap
mengepul semakin tinggi. Belanda kembali membakar rumah-rumah penduduk. Oh,
bukankah...bukankah, Rumah Mak Lami berada di sana?
Cut Intan terperangah.
Ternganga. Matanya benar-benar terbelalak. Tiba-tiba Karim telah berdiri di
sampingnya. Naluri membimbingnya masuk ke kancah pertempuran. Namun, tangan
lelaki itu mencengkram kuat.
”Tolooong! Tolooong!”
terdengar suara wanita berteriak lemah minta tolong di tengah kancah peperangan. Mata Cut Intan benar-benar
terbelalak.
”Mak Lamiiii!” Pekik Cut Intan tertahan. Cut Intan hendak berlari ke arah Mak Lami.
Sekali lagi tangan kekar Karim mencengkramnya kuat.
”Bang Karim, tolong Mak
Lamii!” Isak gadis itu.
”Diamlah.!” Karim melihat ke
arah Mak Lami. Sebuah senyum culas mengembang di wajahnya. Wanita tua itu tak
bergerak lagi. Berkali-kali tubuh wanita tua itu terinjak. Luka di sekujur tubuhnya mengeluarkan darah
segar.
”Kariiiim!” Sebuah suara bentakan tiba-tiba
terdengar. Suara Teuku Wahab. Teuku
Wahab geram melihat menantunya itu hanya menonton. Laki-laki itu berlari ke
arah Karim dan Cut Intan. Baru beberapa meter. Sebutir peluru menghunjam dada
laki-laki itu.
”Ayaaah!!” Tangis Cut Intan Pilu. Karim panik. Demi
dilihatnya sekelompok serdadu Belanda bergerak mendekat ke arahnya, sebuah
senyum kembali mengembang di wajahnya. Pengkhianat!
*
* *
Epilog
Gadis itu menghapus keringat
di wajahnya. Reuncong dengan bercak darah mengering masih tergenggam di
tangannya. Terbayang laki-laki yang memberikan reuncong itu. Laki-laki yang
dicintainya. Laki-laki yang telah dikhianati temannya. Laki-laki yang dibunuh
dengan rencongnya sendiri. Cut Intan sedikit pun tak ragu untuk mengenali
rencong yang tergenggam di tangan Karim saat itu. Rencong kembar milik mereka.
Ketahuilah Saman. Reuncong pemberianmu baru saja menghabisi nyawa seorang
laki-laki pengkhianat. Dan... laki-laki itu? Karim, suaminya. Tak ada sesal di wajah Cut Intan. Hidup di hutan belantara bersama Teungku Jafa
dan orang-orang yang ikhlas membela agama Allah telah menjadi pilihan baginya.
*
* *
[1] Kaum kafir. Sebutan untuk penjajah
Belanda
[2] Istana
Kerajaan Aceh
[3] Desa
[4] sirih
[5] Rumah
adat aceh
[6] Melinjo
[7] gadis
[8] Tempat
menempa rencong
[9] Salah
satu jenis reuncong dengan lapisan emas di hulu reuncong.
[10] Jenis reuncong yang memiliki kekhasan
pada hulunya.
[11] Kapal
perang
[12] Wahai
anak yang berbudi
[13] Lampu
teplok
[14] Peci
[15]
Mushalla/surau
[16] Imam
mushalla/pemuka agama
[17] Pantai Cermin/Ulee Lheeu. Tempat
pendaratan pasukan Belanda/Agresi Belanda I
[18]
Anak-anakku/murid-muridku
[19] baiklah
[20] Alat
pembelah pinang
[21] Ukuran jarak yang dipakai masa itu. Lebih
kurang satu kilometer
[22] saya
[23]
Anakku...! anakku....!
1 Komentar:
Saya sangat suka dengan cerpen reuncong.penokohan yang cukup bagus membuat saat saya membacanya saya bisa merasakan hal tersebut.tidak rugi membaca jambo cerpen ��
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda