Selasa, 02 Agustus 2016

Lagu Merah Laut Tawar
Cerpen Yusmadi

Berulang kali Ine ingatkanku jangan pernah pergi ke kota lagi. Apalagi sekedar mencuci mata. Tak ada kebahagiaan di sana selain raga yang akan menuai lara. “Hamparan kebun kopi 20 meter dari rumah kita apa belum cukup menyegarkan matamu?” Begitu selalu alasan Ine jika kukatakan bahwa laki-laki perlu banyak hal yang dilihat. Entahlah, jujur kukatakan, semua ini sebenarnya hanya karena iklan di sebuah koran daerah yang kubaca di warung kopi dua hari yang lalu. Aku tertarik dengan tawaran menjadi cleaning service di LSM asing itu.
Sebenarnya tak ada yang perlu kubantah.Walaupun telah tiga tahun berlalu, kekhawatiran musibah itu terulang kembali masih menari-nari di kerut pelupuk mata tuanya. Ya, ombak  26 Desember yang lalu hampir saja memelukku. Waktu itu aku masih berstatus buruh di pelabuhan Ulee Lheue. Untunglah, ketika air laut mulai surut bermeter-meter, aku sedang pergi ke kios membeli sabun mandi. Kendatipun kekuatan lariku tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kecepatan  ombak, aku berhasil selamat setelah terpental ke atas atap sebuah toko berlantai dua. Inilah yang tak pernah diinginkan Ine. Mimpi pun tidak.
Aku masih saja kalut dalam kesendirian. Tak mungkin kugadaikan masa depanku ini hanya sebagai penyiang rumput di kebun kopi Pak Hardi itu selamanya. Bapak yang memang telah sejak lama meninggalkan kami berdua tak lebih seorang tukang kayu. Dari Bapaklah aku belajar membuat sampan. Sering aku diajak menjaring ikan depik di danau Laut Tawar kebanggaan daerah kami itu. Gergaji tua satu-satunya peninggalan Bapak yang mulai karatan itu masih tergantung di dinding papan rumah, tepatnya gubuk kami ini. Kenyataan inilah yang membuatku, setamat SMA dulu, memutuskan merantau ke ibu kota Nanggroeku ini.
“Ine, bakal tempat kerjaku nanti bukan di dekat laut !” tak surut aku mencoba meyakinkan Ine.
“Orang bule itu akan memberi gaji yang sangat lumayan Ine !”
“Lihat si Win, Leni atau Wani. Mereka semua kini sudah bekerja di LSM bule-bule itu.”
“Bahkan cerita orang, si Wani sudah jadi sekretaris di LSM pemberdayaan perempuan pascatsunami milik orang asing.”
Selintas kutangkap titik air menetes di pipi Ine. Gurat kekecewaan membias di wajah tua yang masih menyisakan sisa kecantikan itu. Aku pun terdiam.
*  *  *
Dua minggu berlalu setelah percakapanku dengan Ine yang mengundang gurat kecewa wanita itu. Aku tak berani mengungkit-ungkit persoalan itu lagi. Aku pun telah tenggelam dalam kesibukan mencari upahan membuat sampan. Sampai suatu siang Wani yang telah menjadi  sekretaris di LSM asing itu pulang kampung.
Turun dari sebuah mobil kijang, Wani langsung menuju rumahnya. Blues yang membalut tubuhnya dengan kombinasi coklat muda dan krem terlihat sangat memesona. Sebuah tas kulit kecil tergantung indah di bahunya. Ah, sejenak aku terdiam. Begitulah gambaran orang sukses, pikirku. Tapi, tunggu dulu. Rambutnya...rambutnya yang hitam sebahu itu, bukankah dulunya selalu terlindung oleh sehelai jilbab? Aku bingung. Benakku dihujani tanda tanya bertubi-tubi. Sejenak anganku mengawan.
Setahun yang lalu, Wani adalah gadis kampung yang cukup dikagumi. Selain taat, gadis itu sangat pandai menyanyi. Seusai mengajar Al-Quran kepada anak-anak di surau, tak lupa Wani melantunkan sebuah tembang khas dataran tinggi gayo ini.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Kalau sudah mendengar Wani melagukan lagu itu, tak hendak anak-anak itu melangkah walau setapakpun. Begitulah, anak-anak kecil itu tak ingin pulang dibuatnya. Padahal Ine mereka akan marah besar jika sapi  dan kuda mereka di sawah terlambat digiring ke kandang. 
Aku pun masih mengingat, tangan-tangan mungil bocah usia sekolah dasar yang menjadi murid Wani itu menutup raut kecewa di wajah mereka. Sebagiannya menarik-narik baju Ine mereka. Bocah-bocah kecil itu tak rela guru mereka diambil orang. Namun, bagai karang orang-orang bule itu kukuh sekali meyakinkan Wani. Bakat Wani akan lebih berkembang, begitu selalu alasannya. Lalu bersama helaan angin pesisir Laut Tawar Wani pun akhirnya berangkat meninggalkan dataran tinggi tempat tinggalnya. Meninggalkan tanah Putri Bukes itu.
”Piyan, ke sini !” Aku tersentak. Tiba-tiba saja Wani telah berada lima meter di depanku. Dan...Wani masih mengingat namaku.
”Apa anak-anak sore begini masih mengaji di surau seperti dulu?” sambil bertanya sorot matanya tajam menghunjam ke surau kecil yang hanya berjarak kira-kira 20 meter dari tempat kami berdiri.
”Apa ? Kamu mau ke surau itu ? Kamu tak mungkin ke surau dengan pakaian seperti itu. Apa kata orang kampung sini nanti. Apa kamu hendak mengajarkan ajaran sesat kepada mereka!”
Namun, pertanyaan  itu hanya tertahan sampai di kerongkonganku. Wani berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban apapun dariku. Dari jarak 10 meter kulihat Wani mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kain segitiga berkibar ditiup angin. Dengan sebuah gerakan ringan kain segitiga itu ditutupkan di atas rambut hitamnya. Aku sedikit lega, kenyataan ini menghapus sebagian prasangka burukku.
Surau gempar. Wani kembali bersenandung. Suara merdunya sayup terdengar. Tergesa aku mendekati surau itu. Dari salah satu jendela, kulihat bocah-bocah kecil itu sangat bahagia. Kerinduan yang telah lama membuncah seketika dalam isak haru disela-sela nyanyian. Tepuk tangan tak putus-putus, bergelombang mengikuti irama lagu. Tak terasa aku pun larut.
Di salah satu sudut ruangan terlihat beberapa anak yang saling cekikikan. Mereka ternyata menertawakan temannya yang sepertinya kesulitan mengingat gerakan yang baru mereka pelajari. Mereka tidak boleh ikut bernyanyi sebelum hapal gerakan itu. Selalu saja bocah laki-laki berkepala gundul itu salah menggerakkan tangannya. Seperti kali ini. Teman-temannya mulai menggerakkan tangan ke arah kening. Lalu gerakan tangan itu bersambung turun ke arah dada membentuk garis vertikal. Tetapi ketika anak-anak itu mulai menyambung gerakan ke arah bahu kanan dan bahu kiri membentuk garis horizontal, bocah gundul itu malah menggerakkan tangannya ke arah hidung. Rupanya cairan kuning kental mulai tumpah dari dua lubang hidungnya. Seketika itu anak-anak yang lain menertawakannya lagi.    
Oh, Wani ternyata langsung menghampiri anak-anak itu. Membimbing dengan penuh asih. Kalau sudah seperti ini aku termakan cemburu. Ilmu agamaku walaupun serba kekurangan, selalu kudapat lewat deraan rotan tipis yang senantiasa tergenggam di tangan guru mengajiku dulu. Lain dengan Wani. Dia benar-benar paham jiwa bocah-bocah itu.
Kali ini dengan seksama kuperhatikan bocah gundul itu mulai mengulang gerakan itu sendirian. Satu kali, dua kali. Terlihat masih sedikit tersendat. Namun, kali ketiga tangan kecil itu mulai lancar. Gerakan itu terus mengalir berulang-ulang. Sampai-sampai aku sendiri ikut menghapalnya. Tanpa sadar tanganku bergerak mengikuti gerakan bocah gundul itu. Garis vertikal telah kuselesaikan. Perlahan kini bersambung ke arah dua bahu membentuk garis horizontal. Dan, belum lagi habis tanganku bergerak menyentuh kedua sisi bahu...
Ya..Allah...apa yang telah kulakukan. Bukankah ini gerakan ’Snough Hougranye’? Gerakan inilah yang telah menyebabkan ulama jadi-jadian produk Belanda itu harus hengkang kaki dari bumi Malim Dewa ini berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi, apakah, apakah Wani? Dan, bocah-bocah kecil itu....? Seketika seluruh persendianku terasa lunglai. Aku mulai mencium amis petaka. Durjana manalagi yang hendak menggagahi bumiku ini. Ah, aku baru ingat, kemana pula ustazah Aminah ? Tak mungkin Wani bisa seleluasa itu bila ustazah itu ada. Ya, Allah, kusaksikan dari kejauhan gurat merah senja mulai menyelubungi Puncak Pantan Terong. Kali ini gurat itu semakin memerah.
                                                *  *  *
Ustazah Aminah masih beradu mulut. Bibir Wani yang bersepuh lipstik merah itu berkali-kali mematahkan pendapat Ustazah Aminah. Bak air bah Wani terus berkata-kata. Benar-benar bermanfaat ternyata pengetahuan agama yang dimiliki Wani. Walaupun kali ini sedang ia gunakan untuk menyungkurkan kebenaran. Ustazah Aminah pun hanya bisa menangis. Aku yang berusaha meleraikan tertahan oleh kerumunan anak-anak yang perlahan-lahan mulai membentuk dua kubu. Sebagian menarik-narik lengan ustazah Aminah dan sebagian lagi berada di balik punggung Wani. Sementara dua tiga anak duduk bengong tak tahu menahu.
Dari ujung lorong desa beberapa orang ibu-ibu mulai bergerak ke arah surau. Angin mana yang telah mengabarkan kepada mereka. Ternyata tidak hanya itu, dari arah yang berlawanan sekitar sepuluhan orang ibu-ibu lainnya juga terlihat bergerak ke arah surau. Kerumunan ibu-ibu itu langsung menutup pintu surau seakan menghadang untuk meminta penjelasan.
Seketika Wani mulai menjulur-julurkan lidahnya membolak-balik fakta. Masyarakat terhasut. Pandai benar ia mengambil muka. Wani benar-benar berubah menjadi musang berbulu ayam. Mengapa masyarakat ini lagi-lagi menjadi korban seorang ’Snough’ batinku.
”Apakah ibu-ibu keberatan jika saya menyeleksi putra-putri ibu yang pintar bernyanyi untuk saya sekolahkan di kota ?” Wani menaburkan bisa berulang kali.
Terdengar koor panjang yang melegakan hati Wani. Mata-mata mereka seakan ingin menelanjangi ustazah Aminah. Kerut tak mengerti tergambar di wajah mereka. Sebab apa ustazah Aminah menghalangi maksud baik Wani.
”Bagi yang berminat silakan datang ke rumah saya mendaftarkan diri !”
”Dan ini hanya khusus untuk anak-anak bukan untuk orang dewasa !” Sinis Wani memandang Ustazah Aminah sambil memberi intonasi berbeda pada akhir kalimatnya.
 Setelah berkhotbah panjang lebar, Wani menyudahi kalimatnya. Tak sedikit pun kesempatan diberikan kepada Ustazah Aminah. Aura kemenangan menghiasi wajah Wani. Kesejukan yang dulu terpancar di wajahnya telah hilang entah kemana. Sigap Wani meninggalkan surau itu tanpa sedikit pun berpaling ke arah Ustazah Aminah yang masih terduduk lemas di salah satu tiang surau.
Tiba-tiba seorang wanita 40-an menyeruak dari kerumunan ibu-ibu. Berdiri tepat di depan layaknya pemimpin pasukan.
”Ustazah, memangnya kita ini orang kaya. Kenapa kita menolak niat baik orang lain. Lihat saja, si Wani itu telah sukses. Kami juga ingin anak kami seperti mereka. Tidak selalu harus berbedak lumpur seperti kami ini !” Lantang sekali wanita itu berkata. Koor panjang kembali terdengar membenarkan wanita itu. Entah kenapa Ustazah Aminah masih mengunci suara.
Aku yang akhirnya terjebak di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu itu semakin bertambah gerah tak mampu berkata apa. Sampai akhirnya satu persatu dari mereka meninggalkan surau sambil menggamit anak mereka masing-masing.
                                           *  *  *
Hawa dingin masih meruap. Kabut tipis berarak menutupi hamparan kebun nenas sepanjang jalan desa. Sambil sesekali merapikan jaket tebal mereka, bocah-bocah kecil itu saling bercanda sambil mengepul-ngepulkan uap tipis dari mulutnya itu ke wajah temannya. Beberapa anak yang lain tengah asyik mengukir nama mereka di kaca mobil yang sedang parkir di depan surau dengan jari tangannya. Embun tipis di kaca mobil itu seakan menjadi tinta. Sepagi ini memang dataran tinggi Gayo sangat dingin. Namun, tidak cukup untuk mendinginkan hatiku.
Sia-sia sudah waktuku dua hari ini. Tawaran memperbaiki sampan nelayan selama itu tak kuhiraukan. Sengaja kusediakan dua hari ini menemani ustazah Aminah berkeliling desa. Selama itu pula tak ada pintu rumah yang belum kami datangi di kampung ini. Semuanya bersuka cita mendengar tawaran Wani. Segala penjelasan Ustazah Aminah selalu berujung pada kecurigaan.  Padahal mereka tidak tahu lebih tepatnya tak percaya dengan apa yang telah dikerjakan Wani di surau dua hari yang lalu.
Aku tersentak. Tiba-tiba bocah-bocah kecil yang jumlahnya sekitar 20-an itu bernyanyi riang. Sepertinya mobil itu telah siap berangkat. Ya, suara indah nan polos mereka itulah yang telah mengantarkan Wani memilih mereka dan meyakinkan orang tua mereka.
Perlahan putaran roda mobil itu mulai bergerak. Kepulan debu dan asap hitam meninggalkan bekas kotor di dinding surau. Bocah-bocah kecil itu belum juga berhenti bernyanyi. Aku masih diam terpatung sambil mengumpulkan sisa-sisa bait luka yang tertulang. Akankah mereka seperti lagu sendu itu.
Garepo,o,sayang,o sayang...
Gere berine gere berama... *
Di lengkung bukit yang mengitari Laut Tawar, kabut itu bergulung semakin tebal.

                                                *  *  *                                     



Keterangan :
*) Lagu daerah Aceh Tengah
    Yatim piatu, o,sayang,o sayang
     Ibu tiada ayah pun tiada



  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda