Selasa, 02 Agustus 2016

Menunggu Malaikat
Cerpen Yusmadi


Wak Mae, orang kaya nan pelit itu, akhirnya meninggal dunia. Meninggalkan hartanya yang meruah dan istrinya seorang saja tanpa anak semata pun. Cek Dah, istrinya, selalu memuji kesetiaan suaminya itu semasa hidup. Menurutnya, Wak Mae adalah suami yang boleh tanding urusan kesetiaan. Tak ada di gampong[1] ini laki-laki hanya beristri satu kalau sudah punya harta sedikit saja.
”Lihat Apa Dolah itu, lembunya baru beranak satu saja langsung kawin lagi!” Berbinar-binar mata Cek Dah kalau sedang menyampaikan kalimat itu di depan ibu-ibu sepengajian di dayah[2] dekat rumahnya. Perihal kemandulan Wak Mae tak pernah menjadi masalah baginya. Harta telah menutup segenap kekurangan suaminya. Sampai ketika, ya, sampai ketika Cek Dah menemukan surat wasiat di laci lemari pakaiannya.
Memang, hebat benar Wak Mae menyiapkan kematiannya itu. Mungkin dia tahu, tak kan ada orang yang memedulikan jenazahnya nanti karena kekikirannya. Lihat saja, mulai dari keranda pengusungnya, tahu sudah siapa Wak Mae itu semasa hidupnya. Lihatlah kain kasap bermotif kaligrafi Arab yang menutupi peti jenazah itu. Khusus ditenun untuknya jauh-jauh hari. Kilapnya memantul sembarangan. Membuat berair mata para pengantar jenazah itu karena silau. Hendak dibawa pula rupanya hartanya itu.
Untuk kenyamanan ’perjalanan’nya itu, ternyata Wak Mae telah pula menyeleksi sekian pemuda tangguh di gampong ini. Kisah-kisah ganjil yang pernah didengarnya membuat Wak Mae benar-benar menetapkan kriteria yang tak tanggung-tanggung. Dia tak mau kerandanya berguling di jalan hanya karena pengusungnya terkena kurang darah. Atau seperti kisah jenazah Mak Aini. Jenazah wanita tua itu terburai di jalan karena tinggi tubuh pengusungnya tidak sama. Berat keranda akhirnya bertumpu pada pengusung paling tinggi yang berada di depan. Sialnya, tak tersedia pula orang sebagai cadangannya. Untuk itu, jauh-jauh hari dicarinyalah pemuda gampong sesuai seleranya: kesehatan, berat, tinggi badan haruslah ideal. Sasaran pertamanya adalah pemuda yang kecil kemungkinan meninggalkan gampong ini.
Sampai di sini, Cek Dah masih tenang-tenang saja. Menurut wanita yang hanya tamat SD itu, cerita tentang apa yang sudah dilakukan Wak Mae semasa hidupnya yang ditulis dalam surat wasiat, sebagai bukti kematangan berpikir suaminya semata. Bagian akhir dari surat wasiat itulah yang membuat detak jantung Cek Dah melebihi atlet lari jarak pendek. Dan untuk itu pun, Cek Dah tak perlu bersusah-susah. Wak Mae telah pula menyiapkannya.
” Sebaiknya kami lebih dahulu tiba di pemakaman, bukan begitu Cek Dah?”
Pu ka peugah nyan[3], tugas kalian kan di akhir pemakaman?”
” Tenanglah Cek Dah, anggap saja itu sedekah kami untuk Wak Mae. Jadi, biarlah kami menyambut jenazah Wak Mae dengan tilawah pula. Kelebihan waktu di awal tidak perlu dihitung!”   
Sejak subuh, sepuluhan pemuda itu telah berkumpul di rumah Wak Mae. Mereka datang dari desa yang berbeda. Sepertinya pemuda-pemuda itu tak sabar hendak menunaikan tugasnya. Terlebih setelah melihat kelompok orang yang memandikan jenazah langsung pulang dengan uang tergenggam di tangan. Semakin bersemangatlah mereka. Setiap urusan yang berhubungan dengan jenazah Wak Mae haruslah dibayar tunai. Begitu salah satu bunyi wasiat itu.
Sebenarnya, banyak sekali orang yang mengincar tugas yang satu itu. Namun, tak sembarangan, lagi-lagi Wak Mae telah menetapkan sejumlah kriteria. Minimal pernah memenangkan lomba tilawatil Quran tingkat kemukiman[4]. Begitu salah satu kriterianya. Tidak mudah memang. Tidak semua qari mau dibayar oleh Wak Mae. Begitupun, tak sedikit yang langsung melakukan tawar-menawar dengan Wak Mae. Bukan soal bagi Wak Mae. Menurut laki-laki itu, inilah puncak dari segala persiapan. Acara inti, begitulah kira-kira. Hendak dipersembahkan semua hartanya untuk menunda barang sesaat kedatangan malaikat penjaga kubur itu nanti. Ya, para qari itu diminta mengaji siang dan malam di kuburannya nanti selepas rombongan jenazah pergi. Wak Mae yakin benar. Selepas tujuh langkah rombongan pengantar jenazah meninggalkan kuburan maka jenazah segera diadili malaikat. Sedangkan para qari akan tetap tinggal. Dengan begitu  kuburannya tetap berpenjaga dan tidak ditinggalkan. Pastilah para malaikat itu akan menunda tugasnya. Paling tidak sampai hartanya habis untuk membiayai kebutuhan para qari itu. Begitu pikirnya.
Sejak membaca akhir dari surat wasiat itu, Cek Dah mumang bukon le[5]. Wanita itu harus menyiapkan segala keperluan para qari tersebut. Mulai dari makan pagi, siang dan malam sampai rokok kretek dengan segala merk. Cek Dah pula yang harus mengantarkannya sendiri. Mencari orang lain untuk mengantarkan berarti bertambah pula orang yang harus dibayar tunai. Tidak lupa Cek Dah harus mencari tukang sesegera mungkin untuk membangun tempat berteduh bagi para qari dari sengatan matahari atau pun hujan. Dan itu harus dilakukannya sekarang, sebelum malam tiba. Tak ada lagi air mata yang menetes di pipinya seperti ketika Wak Mae meninggal subuh tadi.

*  *  *

Iring-iringan pengusung jenazah terus bergerak merayap. Langkah pemuda-pemuda gagah itu teratur rapi. Mereka tidak boleh mengusik ’ketenangan’ Wak Mae hanya karena kesalahan sedikit saja. Begitu pesan Wak Mae.
Beberapa saat lagi sampailah mereka ke pekuburan. Barisan rombongan pengantar jenazah mulai mengecil memanjang. Semakin dekat ke pekuburan, jalan yang dilalui semakin kecil. Kiri kanan jalan masih ditumbuhi belukar. Liang untuk jenazah Wak Mae berada sedikit ke ujung. Mereka harus melangkahi beberapa kuburan terlebih dahulu untuk sampai ke sana.
Keranda jenazah perlahan diturunkan. Penggali kubur memberikan kode kepada imum meunasah[6] bahwa liang siap dipakai. Para qari terlihat duduk rapi di salah satu sisi kuburan. Belum lagi imum meunasah memulai proses penguburan, kegaduhan terjadi di barisan belakang. Para pemuda pengusung jenazah membuat gaduh. Mereka menuntut upah segera ditunaikan. Sementara, Cek Dah tidak bersama mereka.
”Cek Dah melarikan diri! Cek Dah melarikan diri! Teriak mereka. Seketika suasana berubah gerah. Bagaimanapun, orang-orang tidak biasa dengan suasana pekuburan yang seperti itu.
”Tenang, tenanglah saudara-saudara!” Imum meunasah urun suara.
” Kami menuntut hak kami, Teungku[7]!
” Bukankah bersabar itu lebih baik! Tidak mungkin Cek Dah melalaikan tanggung jawabnya!”
”Mungkin saja, Teungku. Buktinya dia tidak ada di sini! Biarkan kami mengusung kembali jenazah itu ke rumahnya!”
Astaghfirullaaah!”
Kegaduhan itu tidak berkurang sedikit pun. Sampai terdengar suara Cek Dah yang berlari tergopoh-gopoh. Di belakangnya disusul beberapa orang tukang kayu. Cek Dah segera menemui pemuda-pemuda pengusung jenazah itu. Tidak lama pemuda-pemuda itu pun meninggalkan pekuburan. Beberapa saat kemudian barulah proses pemakaman dilanjutkan.

*  *  *

Tiga hari berlalu. Lantunan tilawah Al-Quran masih terus bergema di kuburan Wak Mae. Para qari seakan tidak merasa lelah. Berbungkus-bungkus rokok kretek telah mereka habiskan. Tak terhitung lagi berapa kali Cek Dah harus hilir mudik mengantarkan kopi. Satu hal yang berbeda.  Kini mereka tidak lagi mengaji dengan irama seperti di MTQ-MTQ yang mereka ikuti. Tetapi semakin cepat saja. Mereka pun tidak lagi menunggu giliran secara tertib untuk membaca. Sekarang mereka langsung memberi jatah bacaan masing-masing sehingga mengkhatamkan Al-Quran menjadi lebih cepat. Bukan tidak beralasan. Upah yang akan mereka terima bergantung dari banyaknya mereka mengkhatamkan Al-Quran. Mulailah para qari itu memasang berbagai strategi.
 Terasa benar susah di wajah Cek Dah. Wak Mae tidaklah cukup meninggalkan uang tunai. Bertambah-tambahlah beban wanita itu. Sekarang Cek Dah tidak hanya bertugas melayani keperluan qari itu. Tetapi ikut pula memikirkan cara menghasilkan uang tunai dari harta Wak Mae. Para qari itu tetap menuntut dibayar tunai setiap mereka berhasil mengkhatamkan Al-Quran.
Di hari keenam kematian Wak Mae, rumahnya berubah menjadi rumah lelang. Cek Dah melelang setiap barang yang bisa dijadikan uang. Besok adalah hari ketujuh kematian suaminya. Sesuai adat di gampong ini bahwa keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan kanduri senujoh[8]. Itu artinya Cek Dah memerlukan uang tunai yang tidak sedikit. Padahal Cek Dah  harus pula tetap menyediakan upah para qari. Tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan sanak keluarganya yang tidak pernah hadir dari hari pertama kematian suaminya. Bertambah-tambah saja duka wanita itu. Kini kesehatannya pun perlahan terus menurun.
Malam ketujuh, Cek Dah benar-benar tidak mampu bergerak lagi. Wanita itu terbaring lemah setelah seharian menyiapkan keperluan kanduri senujoh. Rumah belum juga dibersihkannya walaupun kanduri tinggal menunggu waktu. Tuba tikoh[9] yang dibelinya pagi tadi masih tergeletak di atas meja dapur, belum juga disentuh. Padahal tikus-tikus berlarian kesana kemari di rumahnya yang tak pernah dirawatnya lagi itu. Terserahlah apa kata orang esok harinya.
Dalam keadaan seperti itu, dipaksanya juga membuat kopi untuk para qari itu. Dalam keremangan malam, diutusnya seorang anak kecil mengantarkan kopi ke kuburan. Ah, anak kecil itu pun pintar pula meminta upah. Tidak lupa Cek Dah menitip pesan agar menunggui sekaligus menanyakan jumlah khatam Al-Quran mereka.
”Cek Dah! Cek Daaah!” Kira-kira sejam berselang Cek Dah dikejutkan teriakan anak kecil tadi. Tergopoh-gopoh sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Cek Dah melangkah ke luar rumah.
”Ada apa Taufik!” Teriak Cek Dah gusar.
Awak nyan...awak nyan...Cek!” Suara anak kecil itu tertahan. Sepertinya sebuah pemandangan menakutkan baru saja berlalu dari matanya.
”Tenanglah...saket that ulee lon nyo[10]!” Cek Dah bertambah gusar.
“Awak nyan Cek! Mereka…mereka pingsan semua, tidak bergerak-gerak lagi!”
Bagai tak menginjak bumi, Cek Dah berlari ke pekuburan. Hilang sudah sakit yang tengah dirasanya. Langkah Cek Dah terseok-seok di tengah keremangan malam. Sesampai di kuburan suaminya. Sejenak napas wanita itu seolah hendak berhenti. Mulutnya menganga. Matanya melotot. Mulut para qari itu berbusa. Tubuh mereka bergelimpangan. Sebagiannya tergeletak di atas kuburan Wak Mae. Keringat dingin  membanjir. Kerongkongan tercekat. Kepalanya berdenyut. Apakah dalam keadaan sakit tadi dia telah salah memasukkan bubuk kopi dengan tuba tikoh yang dibelinya pagi tadi? Bukankah warnanya sama?

*  *  *

  














[1] Desa (Aceh)
[2] Pesantren
[3] Ngomong apa kalian!
[4] Gabungan beberapa buah desa. Sistem pemerintahan terkecil di Aceh di atas desa.
[5] Uring-uringan. Pusing tujuh keliling.
[6] Imam mushala/surau desa
[7] Ustaz/guru spiritual
[8] Kenduri pada hari ketujuh selepas seseorang meninggal dunia
[9] Racun tikus
[10] Kepala saya sedang pusing

8 Komentar:

Pada 1 Agustus 2017 pukul 02.46 , Blogger Unknown mengatakan...

Good job

 
Pada 1 Agustus 2017 pukul 02.46 , Blogger Unknown mengatakan...

keren Pak Yus Cerpenya...
Mantap Jiwa

 
Pada 1 Agustus 2017 pukul 02.47 , Blogger Unknown mengatakan...

hebat

 
Pada 1 Agustus 2017 pukul 02.47 , Blogger Unknown mengatakan...

very very good your cerpen

 
Pada 1 Agustus 2017 pukul 02.49 , Blogger Unknown mengatakan...

saya setuju

 
Pada 3 Agustus 2017 pukul 02.42 , Blogger n4kuro.blogspot.com mengatakan...

bagus pak cerpenya
mantap jiwa

 
Pada 7 Agustus 2017 pukul 07.25 , Blogger anaktekno07 mengatakan...

keren pak mainkan...

 
Pada 7 Agustus 2017 pukul 07.28 , Blogger anaktekno07 mengatakan...

keren pak, mainkan...

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda