Menunggu Malaikat
Cerpen Yusmadi
Wak Mae, orang kaya nan pelit
itu, akhirnya meninggal dunia. Meninggalkan hartanya yang meruah dan istrinya seorang saja tanpa anak
semata pun. Cek Dah,
istrinya, selalu memuji kesetiaan suaminya itu semasa hidup. Menurutnya, Wak
Mae adalah suami yang boleh tanding urusan kesetiaan. Tak ada di gampong[1]
ini laki-laki hanya beristri satu kalau sudah punya harta sedikit saja.
”Lihat Apa Dolah itu, lembunya
baru beranak satu saja langsung kawin lagi!” Berbinar-binar mata Cek Dah kalau
sedang menyampaikan kalimat itu di depan ibu-ibu sepengajian di dayah[2]
dekat rumahnya. Perihal kemandulan Wak Mae tak pernah menjadi masalah baginya.
Harta telah menutup segenap kekurangan suaminya. Sampai ketika, ya, sampai
ketika Cek Dah menemukan surat wasiat di laci lemari pakaiannya.
Memang, hebat benar Wak Mae
menyiapkan kematiannya itu. Mungkin dia tahu, tak kan ada orang yang
memedulikan jenazahnya nanti karena kekikirannya. Lihat saja, mulai dari
keranda pengusungnya, tahu sudah siapa Wak Mae itu semasa hidupnya. Lihatlah
kain kasap bermotif kaligrafi Arab yang menutupi peti jenazah itu. Khusus
ditenun untuknya jauh-jauh hari. Kilapnya memantul sembarangan. Membuat berair
mata para pengantar jenazah itu karena silau. Hendak dibawa pula rupanya
hartanya itu.
Untuk kenyamanan
’perjalanan’nya itu, ternyata Wak Mae telah pula menyeleksi sekian pemuda
tangguh di gampong ini. Kisah-kisah
ganjil yang pernah didengarnya membuat Wak Mae benar-benar menetapkan kriteria
yang tak tanggung-tanggung. Dia tak mau kerandanya berguling di jalan hanya
karena pengusungnya terkena kurang darah. Atau seperti kisah jenazah Mak Aini.
Jenazah wanita tua itu terburai di jalan karena tinggi tubuh pengusungnya tidak
sama. Berat keranda akhirnya bertumpu pada pengusung paling tinggi yang berada
di depan. Sialnya, tak tersedia pula orang sebagai cadangannya. Untuk itu,
jauh-jauh hari dicarinyalah pemuda gampong
sesuai seleranya: kesehatan, berat, tinggi badan haruslah ideal. Sasaran
pertamanya adalah pemuda yang kecil kemungkinan meninggalkan gampong ini.
Sampai di sini, Cek Dah masih
tenang-tenang saja. Menurut wanita yang hanya tamat SD itu, cerita tentang apa
yang sudah dilakukan Wak Mae semasa hidupnya yang ditulis dalam surat wasiat,
sebagai bukti kematangan berpikir suaminya semata. Bagian akhir dari surat
wasiat itulah yang membuat detak jantung Cek Dah melebihi atlet lari jarak
pendek. Dan untuk itu pun, Cek Dah tak perlu bersusah-susah. Wak Mae telah pula
menyiapkannya.
” Sebaiknya kami lebih dahulu
tiba di pemakaman, bukan begitu Cek Dah?”
” Pu ka peugah nyan[3],
tugas kalian kan di akhir pemakaman?”
” Tenanglah Cek Dah, anggap
saja itu sedekah kami untuk Wak Mae. Jadi, biarlah kami menyambut jenazah Wak
Mae dengan tilawah pula. Kelebihan waktu di awal tidak perlu dihitung!”
Sejak subuh, sepuluhan pemuda
itu telah berkumpul di rumah Wak Mae. Mereka datang dari desa yang berbeda.
Sepertinya pemuda-pemuda itu tak sabar hendak menunaikan tugasnya. Terlebih setelah
melihat kelompok orang yang memandikan jenazah langsung pulang dengan uang
tergenggam di tangan. Semakin bersemangatlah mereka. Setiap urusan yang
berhubungan dengan jenazah Wak Mae haruslah dibayar tunai. Begitu salah satu
bunyi wasiat itu.
Sebenarnya, banyak sekali
orang yang mengincar tugas yang satu itu. Namun, tak sembarangan, lagi-lagi Wak
Mae telah menetapkan sejumlah kriteria. Minimal pernah memenangkan lomba
tilawatil Quran tingkat kemukiman[4].
Begitu salah satu kriterianya. Tidak mudah memang. Tidak semua qari mau dibayar
oleh Wak Mae. Begitupun, tak sedikit yang langsung melakukan tawar-menawar
dengan Wak Mae. Bukan soal bagi Wak Mae. Menurut laki-laki itu, inilah puncak
dari segala persiapan. Acara inti, begitulah kira-kira. Hendak dipersembahkan
semua hartanya untuk menunda barang sesaat kedatangan malaikat penjaga kubur
itu nanti. Ya, para qari itu diminta mengaji siang dan malam di kuburannya
nanti selepas rombongan jenazah pergi. Wak Mae yakin benar. Selepas tujuh langkah rombongan pengantar jenazah meninggalkan
kuburan maka jenazah segera diadili malaikat. Sedangkan para qari akan tetap
tinggal. Dengan begitu kuburannya tetap
berpenjaga dan tidak ditinggalkan. Pastilah para malaikat itu akan menunda
tugasnya. Paling tidak sampai hartanya habis untuk membiayai kebutuhan para
qari itu. Begitu pikirnya.
Sejak membaca akhir dari surat
wasiat itu, Cek Dah mumang bukon le[5].
Wanita itu harus menyiapkan segala keperluan para qari tersebut. Mulai dari
makan pagi, siang dan malam sampai rokok kretek dengan segala merk. Cek Dah
pula yang harus mengantarkannya sendiri. Mencari orang lain untuk mengantarkan
berarti bertambah pula orang yang harus dibayar tunai. Tidak lupa Cek Dah harus
mencari tukang sesegera mungkin untuk membangun tempat berteduh bagi para qari
dari sengatan matahari atau pun hujan. Dan itu harus dilakukannya sekarang,
sebelum malam tiba. Tak ada lagi air mata yang menetes di pipinya seperti
ketika Wak Mae meninggal subuh tadi.
* * *
Iring-iringan pengusung
jenazah terus bergerak merayap. Langkah pemuda-pemuda gagah itu teratur rapi. Mereka
tidak boleh mengusik ’ketenangan’ Wak Mae hanya karena kesalahan sedikit saja. Begitu
pesan Wak Mae.
Beberapa saat lagi sampailah
mereka ke pekuburan. Barisan rombongan pengantar jenazah mulai mengecil
memanjang. Semakin dekat ke pekuburan, jalan yang dilalui semakin kecil. Kiri
kanan jalan masih ditumbuhi belukar. Liang untuk jenazah Wak Mae berada sedikit
ke ujung. Mereka harus melangkahi beberapa kuburan terlebih dahulu untuk sampai
ke sana.
Keranda jenazah perlahan
diturunkan. Penggali kubur memberikan kode kepada imum meunasah[6]
bahwa liang siap dipakai. Para
qari terlihat duduk rapi di salah satu sisi kuburan. Belum lagi imum meunasah memulai proses penguburan,
kegaduhan terjadi di barisan belakang. Para pemuda pengusung jenazah membuat
gaduh. Mereka menuntut upah
segera ditunaikan. Sementara, Cek Dah tidak bersama mereka.
”Cek Dah melarikan diri! Cek
Dah melarikan diri! Teriak mereka. Seketika suasana berubah gerah.
Bagaimanapun, orang-orang tidak biasa dengan suasana pekuburan yang seperti
itu.
”Tenang, tenanglah
saudara-saudara!” Imum meunasah urun
suara.
” Kami menuntut hak kami, Teungku[7]!”
” Bukankah bersabar itu lebih
baik! Tidak mungkin Cek Dah melalaikan tanggung jawabnya!”
”Mungkin saja, Teungku. Buktinya dia tidak ada di sini!
Biarkan kami mengusung kembali jenazah itu ke rumahnya!”
”Astaghfirullaaah!”
Kegaduhan itu tidak berkurang
sedikit pun. Sampai terdengar suara Cek Dah yang berlari tergopoh-gopoh. Di
belakangnya disusul beberapa orang tukang kayu. Cek Dah segera menemui
pemuda-pemuda pengusung jenazah itu. Tidak lama pemuda-pemuda itu pun
meninggalkan pekuburan. Beberapa saat kemudian barulah proses pemakaman
dilanjutkan.
* * *
Tiga hari berlalu. Lantunan
tilawah Al-Quran masih terus bergema di kuburan Wak Mae. Para qari seakan tidak
merasa lelah. Berbungkus-bungkus rokok kretek telah mereka habiskan. Tak
terhitung lagi berapa kali Cek Dah harus hilir mudik mengantarkan kopi. Satu
hal yang berbeda. Kini mereka tidak lagi
mengaji dengan irama seperti di MTQ-MTQ yang mereka ikuti. Tetapi semakin cepat
saja. Mereka pun tidak lagi menunggu giliran secara tertib untuk membaca.
Sekarang mereka langsung memberi jatah bacaan masing-masing sehingga
mengkhatamkan Al-Quran menjadi lebih cepat. Bukan tidak beralasan. Upah yang
akan mereka terima bergantung dari banyaknya mereka mengkhatamkan Al-Quran.
Mulailah para qari itu memasang berbagai strategi.
Terasa benar susah di wajah Cek Dah. Wak Mae
tidaklah cukup meninggalkan uang tunai. Bertambah-tambahlah beban wanita itu.
Sekarang Cek Dah tidak hanya bertugas melayani keperluan qari itu. Tetapi ikut pula memikirkan cara
menghasilkan uang tunai dari harta Wak Mae. Para qari itu tetap menuntut
dibayar tunai setiap mereka berhasil mengkhatamkan Al-Quran.
Di hari keenam kematian Wak
Mae, rumahnya berubah menjadi rumah lelang. Cek Dah melelang setiap barang yang
bisa dijadikan uang. Besok adalah hari ketujuh kematian suaminya. Sesuai adat
di gampong ini bahwa keluarga yang
ditinggalkan akan mengadakan kanduri
senujoh[8].
Itu artinya Cek Dah memerlukan uang tunai yang tidak sedikit. Padahal Cek
Dah harus pula tetap menyediakan upah
para qari. Tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan sanak keluarganya yang
tidak pernah hadir dari hari pertama kematian suaminya. Bertambah-tambah saja
duka wanita itu. Kini kesehatannya pun perlahan terus menurun.
Malam ketujuh, Cek Dah
benar-benar tidak mampu bergerak lagi. Wanita itu terbaring lemah setelah seharian menyiapkan keperluan kanduri senujoh. Rumah belum juga dibersihkannya
walaupun kanduri tinggal menunggu waktu.
Tuba tikoh[9]
yang dibelinya pagi tadi masih tergeletak di atas meja dapur, belum juga
disentuh. Padahal tikus-tikus berlarian kesana kemari di rumahnya yang tak
pernah dirawatnya lagi itu. Terserahlah apa kata orang esok harinya.
Dalam keadaan seperti itu, dipaksanya
juga membuat kopi untuk para qari itu. Dalam keremangan malam, diutusnya seorang anak kecil mengantarkan kopi ke
kuburan. Ah, anak kecil itu pun pintar pula meminta upah. Tidak lupa Cek Dah
menitip pesan agar menunggui sekaligus menanyakan jumlah khatam Al-Quran mereka.
”Cek Dah! Cek Daaah!” Kira-kira
sejam berselang Cek Dah dikejutkan teriakan anak kecil tadi. Tergopoh-gopoh
sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Cek Dah melangkah ke luar rumah.
”Ada apa Taufik!” Teriak Cek Dah
gusar.
”Awak nyan...awak nyan...Cek!” Suara anak kecil itu tertahan.
Sepertinya sebuah pemandangan menakutkan baru saja berlalu dari matanya.
”Tenanglah...saket that ulee lon
nyo[10]!”
Cek Dah bertambah gusar.
“Awak nyan Cek! Mereka…mereka
pingsan semua, tidak bergerak-gerak lagi!”
Bagai tak menginjak bumi, Cek Dah berlari ke pekuburan. Hilang sudah
sakit yang tengah dirasanya. Langkah Cek Dah terseok-seok di tengah keremangan malam. Sesampai di kuburan
suaminya. Sejenak napas wanita itu seolah hendak berhenti. Mulutnya menganga.
Matanya melotot. Mulut para qari itu berbusa. Tubuh mereka bergelimpangan.
Sebagiannya tergeletak di atas kuburan Wak Mae. Keringat dingin membanjir. Kerongkongan tercekat. Kepalanya
berdenyut. Apakah dalam keadaan sakit tadi dia telah salah memasukkan bubuk
kopi dengan tuba tikoh yang dibelinya
pagi tadi? Bukankah warnanya sama?
* * *
[1] Desa
(Aceh)
[2]
Pesantren
[3] Ngomong
apa kalian!
[4] Gabungan beberapa buah desa. Sistem
pemerintahan terkecil di Aceh di atas desa.
[5]
Uring-uringan. Pusing tujuh keliling.
[6] Imam
mushala/surau desa
[7]
Ustaz/guru spiritual
[8] Kenduri pada hari ketujuh selepas
seseorang meninggal dunia
[9] Racun
tikus
[10] Kepala
saya sedang pusing
8 Komentar:
Good job
keren Pak Yus Cerpenya...
Mantap Jiwa
hebat
very very good your cerpen
saya setuju
bagus pak cerpenya
mantap jiwa
keren pak mainkan...
keren pak, mainkan...
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda