Minggu, 13 Desember 2015

Cerpen


Apa yang Kau Cari dalam
 Desah Nafas yang Semakin Terengah Itu!*
Cerpen Yusmadi

Malam masih menyisakan gigil. Dingin. Langit semalam suntuk muntah air. Muncrat kemana-mana. Atap rumah tembus. Menggenang di ubin kasar rumah ini. Menjadi kolam renang kecoak. Selokan meluap. Busuk.
Tak acuh, ayah terus memunggungi mak. Pergi. Dua adik laki-lakiku mengintip di balik gorden kamar. Menatap ayah, takut. Di dalam kamar, mak menghirup nafas dalam-dalam. Perih. Matanya berulang menangis. Air mata itu seperti mencoba melarung tetesan darah dari bagian hati yang sudah lama terluka. Bernanah. Kemudian bercampur dengan dahak berdarah, dan hueek! Mak muntah darah. Wahai, dengarkan! Ayah hendak beristri lagi.
Sekali lagi, tubuh rapuh itu diterpa badai. Entah kekuatan apa yang dimiliki Mak untuk tetap tegar dengan selaksa derita ini. Di depan kami, tubuh yang kutaksir menyisakan berat 40 kg itu tetap saja mengukir senyum di mulutnya. Bertiga, aku dan adik-adikku, kembali berteduh di pelukannya. Seterusnya, dingin kembali memagut sepi.
*  *  *
            Mahmudi namamu. Begitulah kini wanita yang melahirkanmu. Angin telah bersekongkol dengannya. Hingga luka itu tak pernah berhasil kau cium. Sebab kepadamu, wanita itu selalu mengunci kepedihan. Akan halnya Ayah, begitu lama kau telah membenci laki-laki itu.
*  *  *
            Mak ingin menggeleng. Tapi, telah punah ternyata segenap ketakutan yang bersembunyi di balik hatinya selama ini.
            ”Bukankah dia telah bersuami pula, Mak?”
            ”Sebulan yang lalu suaminya telah meninggal!” Gumam mak lirih. Lalu semua potret perselingkuhan suaminya dengan Wati, adik kandungnya, tiba-tiba tumpah seperti air bah. Menenggelamkan segenap pengorbanan dan kepasrahan yang selama ini ia simpan rapi. Semuanya tercerabut begitu saja. Seperti rumput-rumput yang tersabit tukang kebun dengan sekali sentak.
            Namun, mak tetap saja mampu membangun bendungan di hatinya kembali. Sampai, ya kukatakan saja, sampai laki-laki tua bejat itu meminta mak serumah dengan istri barunya. Mak tahu benar, adiknya itu memang tak memiliki rumah selama tiga tahun pernikahan dengan laki-laki dari desa tetangga itu. Selama itu pula mereka hidup di rumah mertua.        
Sekarang giliran Mak yang bergerak mengumpulkan segenap tenaga. Digapainya tanganku. Erat menggenggam. Tubuh rapuh itu bangkit dari pembaringan. Dikumpulkannya segenap tenaga. Tangan keriput yang pernah mengobral kasih kepada kami bertiga, tentu saja kepada laki-laki itu juga, mengusap kristal-kristal bening yang mulai mengering di pipinya. Ditutupnya episode hidup yang paling menyakitkan itu. Dan, hueek! Mak muntah darah lagi.
*  *  *
            Mahmudi namamu. Menjadi guru karena kenekatan cita-citamu. Kau bawa dua adikmu ke Banda Aceh, bersama mengharap madu. Karena menurutmu, tak bisa kau berharap pada seorang ayah yang tak baik laku, menipu, berjudi melulu. Kini kau pulang. Dan, begitulah  wanita yang melahirkanmu. Bertahun terjerat sakit paru-paru. Angin telah dibayarnya agar tak menebarkan hawa duka itu. Sebab kepadamu, wanita itu selalu mengunci kepedihan. Namun angin telah mengkhianati mak. Akan halnya Ayah, bagimu sebenarnya tak perlu.
*  *  *
            Malam itu langit pias. Menyaksikan kekalahan paling sempurna bagi seorang wanita yang tak lagi mampu melayani suaminya. Tunjukkan laki-laki mana yang masih berhasrat pada wanita berpenyakit paru, kronis!
            ”Menikahlah...aku ikhlas, Bang!” Malaikat menangis menyaksikan kepasrahan mak malam itu. Dan kukatakan, sekali lagi kukatakan, laki-laki itu telah mencabut nyawa mak sebelum ajalnya. Malam berikutnya laki-laki itu benar-benar menghadirkan malaikat maut. Tepat di hadapan mak. Meranggas darah mak mendengar permintaan ayah. Permintaan yang untuk membayangkan saja tak pernah. Permintaan untuk tinggal serumah dengan istri barunya, adik kandung mak.
            Begitulah, angin telah menyampaikan itu semua kepadaku. Hingga malam itu, bersama dua adikku, aku meninggalkan Banda Aceh menyusuri kenangan demi kenangan yang telah lama berdebu. Menjemput kampung halamanku. Satu per satu sketsa biru di kepalaku menceracau. Laki-laki, yang saat itu masih kupanggil ayah, pulang terhuyung. Mulutnya menyemburkan bau neraka. Melantakkan seluruh isi lemari mak. Juga uang hasil menjual sepetak sawah warisan keluarga mak. Padahal besok akan diserahkan mak kepadaku untuk rencana biaya tahun pertama kuliahku. Tubuh mak berguling ditendang laki-laki kasar itu. Dan aku, hampir saja laki-laki itu mati di tanganku.
*  *  *
Mahmudi namamu. Kau sadar telah mengambil andil dalam lakon kelabu itu. Maka salahmu jika mak menjadi bulan-bulanan laki-laki, terserah apakah kau masih memanggil ayah, itu. Pun, salahmu ketika sekali waktu kau menjemput adik-adikmu, tak betah walau sehari kau berteduh di rumah itu. Penuh pikiran, kau sesali sikap laki-laki itu yang menurutmu sudah tak pantas lagi beristri sebab kepalanya telah kelabu. Tua bangka, katamu. Lalu kepalamu mulai merangkai-rangkai rencana ini itu.
*  *  *
Malam ini, mak akan serumah dengan madunya. Tepat pukul  sembilan. Pintu di ketuk orang. Kuhadang adikku yang hendak membukakan pintu. Mak masih terbaring layu di kamarnya. Mataku menerobos ke arah daun pintu. Pisau dapur tergenggam erat di tanganku.
”Braak!” Seorang wanita menerobos masuk. Ya, hanya seorang. Aku tak melihat bajingan tua itu. Lalu wanita itu berlari menuju kamar ibu. Di hadapan ibu ia terisak. Mengiba-iba memohon maaf. Ya, seperti itu. Genggaman pisau di belakang punggungku mengendur.
”Diarak...kak, dia sedang di arak keliling kampung!” Tak perlu kudengar penjelasan lengkap lagi. Bagai semut yang keluar dari sarangnya karena dikencingi anak kecil, aku berlari keluar. Dengan ojek, aku menuju desa tetangga yang hanya berjarak sepuluh kilometer. Pisau kuselipkan di balik baju.
Sebuah pemandangan terhampar di hadapanku. Menohok mata batinku. Seorang laki-laki dengan seorang wanita didudukkan di samping sumur meunasah. Dalam temaram malam kulihat laki-laki itu hanya mengenakan sarung. Sedangkan wanita itu berpakaian lengkap. Tak perlu usaha keras mengenali laki-laki tua itu walaupun rambut kelabunya gundul. Tepatnya digunduli orang sekampung. Dan wanita itu, tak perlu kutahu siapa wanita di samping laki-laki tua bangka itu. Pastilah barang temuan, asesoris pelengkap meja judi dan mabuk-mabukan. Perutku seperti diaduk-aduk.
Bagai sepasang pengantin dalam adat Jawa yang sedang dimandikan, berebutan tangan-tangan itu mengguyur sepasang anak manusia naas itu. Bedanya, dalam upacara adat Jawa, air yang digunakan telah ditaburi kembang aneka rupa dan orang yang memandikan tidak lupa mengiringi dengan doa-doa keselamatan bukan air yang telah dicampuri comberan serta caci serapah. Orang-orang terus saja bersemangat berteriak-teriak, mengepal-kepalkan tangannya, merasa kampungnya telah dicemari. Laki-laki tua itu menunduk dalam-dalam.  Nafasnya memburu. Berebutan keluar dari lubang hidungnya. Menyedihkan. Tiba-tiba beribu jarum menusuk tepat di hulu hatiku. Sakit sekali.
”Aa...yaah!”
*  *  *
Bukankah kau yang bernama Mahmudi itu! Lahir dari wanita berpenyakit paru. Dengan ayah yang tak baik laku. Tapi kau tetap seorang guru. Keluargamu lebih butuh pengabdianmu itu.
*  *  *



* Diambil dari lirik lagu Rafli