Selasa, 08 November 2016

Reuncong



Reuncong
Cerpen Yusmadi



Kutaraja, November 1873
Langit Baiturrahman merah berdarah. Setiap jengkal tanahnya disesaki dengan mayat. Seketika bau anyir meruap menyesaki paru-paru. Kubah masjid berderak patah mencium bumi. Asap membubung tinggi meliuk-liuk menuju langit. Dalam sekejap bangunan mulia dari kayu itu hitam mengarang. Kaphee[1]  Belanda telah membakarnya.
Enam kapal perang Belanda  mendarat di Pantee Ceureumen, Ulee Lheue. Dalam[2] dalam keadaan bahaya. Sultan Mahmud Syah meradang. Peperangan meluas. Geram. Panik. Aroma syuhada menyebar tercium ke segenap penjuru. Menyerobot masuk ke setiap celah bilik penduduk gampong[3]. Melampaui gunung, merambah belantara.

*  *  *
           
“Samaaan!” Seorang wanita lima puluhan berteriak gusar. Cairan warna merah daun ranup[4] yang telah bercampur dengan air liur menetes dari mulutnya. Berkali-kali Mak Lami yang sudah tak bersuami itu membetulkan letak selendang yang menutupi rambut putihnya. Bingung. Dengan tertatih-tatih Mak Lami menuruni anak tangga rumoh manyang[5]. Tapak kaki yang tak mengenal alas itu langsung diseretnya ke halaman belakang.
Seorang pemuda bertelanjang dada tampak sedang menekuni pekerjaannya. Dari raut wajahnya tampak sekali ia tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Pemuda dua puluh tahunan itu tak ingin pekerjaannya terganggu. Dentingan logam terdengar bersahutan.  Sesekali angin dari rimbunan bak mulieng[6] bertiup mempermainkan sarung kumal yang dikenakan sekenanya oleh pemuda itu. Warna kulitnya yang kecoklatan tersepuh oleh keringat sehingga kelihatan mengkilat diterpa matahari. Rahangnya yang kuat dilengkapi dengan hidungnya yang mancung serta alis yang terukir lebat menegaskan ketampanan laki-laki muda itu. Tak salah bila banyak aneuk dara[7] yang mengaguminya.
Sudah sebulan  ini Saman hanya menghabiskan waktunya di pandee-pandee[8]. Reuncong yang diinginkannya tak juga kunjung selesai. Telah lama benar ia menginginkan  reuncong yang sempurna. Reuncong meupucok[9] peninggalan ayahnya tak sedikitpun berani disentuhnya. Reuncong itu telah menjadi pusaka keluarga. Lapisan emas yang menutupi ukiran di hulu reuncong itu masih tetap mengkilap. Sebenarnya reuncong itu bukanlah sepenuhnya milik ayahnya. Reuncong dengan jenis seperti itu hanya dimiliki kaum bangsawan. Seorang Uleebalang menghadiahi reuncong itu untuk ayahnya sebagai jasa kesetiaan.
Saman dengan perlahan mulai mengusap hulu reuncong. Hulu reuncong yang dibuat dari tanduk sapi itu seketika mengkilap. Hulu reuncong itu dibuatnya meucugeek[10]. Hulu dengan penahan tangan seperti itu tidak mudah lepas bila hendak mencabutnya dari sasaran. Saman telah menggadaikan segenap rasa dan cintanya untuk reuncong itu.
Mak Lami semakin mempercepat langkahnya. Sesekali ia menggerutu bila kakinya terhalang oleh rambatan pohon ranup.
“Sampai kapan reuncongmu itu akan siap, Saman!” Mak Lami berteriak jengkel. Cairan merah sebentar-bentar berhamburan dari mulutnya.
“Teungku Lah tetangga kita telah bergabung dengan pasukan Sultan pagi tadi. Mereka akan menghadang kapai prang kaphee[11] Belanda di Pantee Ceureumeen.” Mak Lami bertambah gusar. Anak laki satu-satunya itu tak sedikitpun menoleh kepadanya.
Hai aneuk meutuah[12], apakah kamu hendak menonton saja rumah Allah masjid Baiturrahman yang telah hangus dimakan api?” Suara wanita tua itu terdengar histeris. Tiba-tiba wajah Saman mengeras. Rahangnya bergerak-gerak. Namun tetap saja pandangannya sedikitpun tak beralih dari reuncongnya. Mak Lami segera menahan ucapannya. Ia paham benar tabiat anak laki-lakinya itu. Tentulah perkataannya tadi telah masuk dan menusuk ke hatinya. Walaupun tak ada kata-kata yang keluar dari mulut anaknya itu.
Mak Lami menyeret kakinya menjauh dengan perasaan kalut. Wanita itu tidak langsung memasuki rumoh manyangnya. Dipetiknya pucuk daun mulieng yang tumbuh di sekeliling rumahnya sambil mengumpulkan buah mulieng yang berjatuhan di tanah. Biasanya daun mulieng itu akan dimasaknya dengan pliek u dan buahnya akan ditumbuk dan dijadikan kerupuk. Hampir seluruh penduduk gampong melakukan hal yang sama. Dengan cara itu belum pernah sekalipun mereka kekurangan bahan pangan.

*  *  *

Semburat merah menyembul dari celah-celah bukit. Cahaya api yang bersumber dari panyot culot[13] mulai menerangi rumah-rumah penduduk gampong. Hampir semua penduduk gampong mempercepat kesibukan mereka senja itu. Seolah mereka khawatir bila pekerjaannya belum selesai dan malam telah menyambutnya. Letak rumah satu dengan yang lainnya yang agak berjauhan membuat suasana senja kali ini semakin terasa mencekam.  Saman baru saja menyempurnakan wudhunya. Tetesan air berjatuhan dari wajahnya. Diambilnya kupiah[14] yang tersangkut di kayu dinding sumur yang terbuat dari pelepah rumbia. Dibetulkannya letak kain sarungnya sambil berjalan menuju meunasah[15]. Selang beberapa saat, suara merdunya telah mengalun kuat mengajak manusia untuk segera menyembah Sang Pencipta.
  Selepas salat magrib, Teungku Jafa selaku imum meunasah[16] meminta Saman dan beberapa pemuda tetap tinggal di meunasah. Ada hal penting yang hendak mereka bincangkan. Tidak seperti biasanya, Saman seperti menangkap kesan rahasia dari nada ucapan Teungku Jafa.
Tanpa menunggu lama, Teungku Jafa meminta salah seorang pemuda menggelar tikar. Kedelapan pemuda yang diminta untuk ikut pertemuan itu segera mengambil posisi melingkar. Saman mencoba membaca raut mimik pemuda-pemuda teman sepengajiannya itu. Kepada merekalah Teungku Jafa menghabiskan waktu-waktunya mengajarkan seluk beluk agama setiap pekan. Leman pemuda yang biasanya banyak cakap hanya diam terpaku menatap ukiran tikar pandan yang dijalin warna-warni. Zulfikar masih menekuni zikirnya dengan tasbih yang melingkar di tangannya. Begitupun dengan yang lainnya. Semua menampakkan keseriusan di wajah mereka membuat Saman semakin yakin akan ada hal penting yang akan terjadi. Pastilah urusan ini melibatkan mereka.
Saman mulai menduga-duga. Apakah pertemuan ini ada hubungannya dengan khabar yang sempat di dengarnya siang tadi dari bisik-bisik penduduk gampong. Pasukan kesultanan tidak mampu membendung pendaratan pasukan Belanda di Pantee[17] Ceureumen. Terbetik khabar pasukan Belanda hendak mengepung dan menguasai Dalam. Sampai siang tadi pasukan Belanda telah bergerak  membumihanguskan Masjid Baiturrahman di Kutaraja. Teuku Imeum Lueng Bata dan pasukannya sedang berjuang  mempertahankan Baiturrahman.
“Begitulah kondisinya, wahai aneuk-aneuk lon[18].” Teungku Jafar mengakhiri penjelasannya. Saman dan teman-temannya tidak sanggup membendung gelombang panas yang tiba-tiba mulai menjalari ke setiap aliran darah mereka.
“Dan kau Saman, kumpulkanlah reuncong-reuncong terbaikmu!”
Geut[19], Teungku” Saman menyahut takzim. Siap dengan amanah yang dibebankan padanya. Semua penduduk gampong paham benar tentang kelihaian Saman untuk urusan yang satu itu.
“Apakah para wanita dan anak-anak harus kita ungsikan, Teungku?” Karim yang sedari tadi diam, menyela. Ujung matanya menatap tajam ke arah Saman.
“Semua strategi akan kita bahas besok subuh bersama kaum tua.” Teungku Jafa menutup  pertemuan dan mengisyaratkan waktu Isya sudah tiba. Saman dan pemuda lainnya segera membubarkan diri turun dari tangga meunasah untuk memperbarui wudhu mereka.

*  *  *
Mak Lami masih membelah tumpukan buah pinang di halaman rumahnya dengan rampagoe[20] ketika seorang gadis datang menyapa. Kerudung hijau muda yang dikenakan gadis itu sesekali dicandai angin. Langkahnya tanpa ragu memasuki halaman rumah Mak Lami. Dari gelagatnya nyatalah bahwa gadis itu sudah terbiasa ke rumah itu.
“Mak, ini ada sedikit kuah lemak.” Sambil menyerahkan wadah kecil yang sedari tadi dipegangnya, gadis itu langsung duduk di samping Mak Lami. Tangannya yang halus dengan cekatan membantu pekerjaan Mak Lami. Sepertinya ada urusan sangat penting yang hendak disampaikannya pada wanita tua itu.
“Cut Intan, kau selalu membuat Mak malu.”
“Dalam minggu ini sudah empat kali kau mengirimkan makanan.” Mak Lami menggenggam tangan gadis itu. Gadis yang dipanggil Cut Intan itu hanya tersipu. Rona merah membayang di pipinya. Sebuah senyum terukir manis di tipis bibirnya. Dalam keadaan seperti itu kecantikan benar-benar terukir penuh di wajahnya.
Cut Intan gadis yang sedang memasuki masa remaja itu tinggal tidak sampai saboh batee[21] dari rumah Mak Lami. Teuku Wahab ayahnya adalah orang paling berada di gampong ini. Mak Lami sangat menghormati dan menyayangi gadis itu. Gadis yang menurut Mak Lami memiliki dunia akhirat. Cut Intan sangat rajin ke meunasah mengikuti pengajian. Saman sesekali waktu juga ikut mengajarkan ilmunya jika Teungku Jafa berhalangan. Mak Lami mulai menjaga jarak dengan Cut Intan ketika penduduk gampong mulai ramai membincangkannya.
Teuku Wahab memiliki banyak harta. Tanah yang dimilikinya tersebar hampir di setiap penjuru gampong. Rumah Teuku Wahab sangat mencolok di antara rumah penduduk lainnya. Setiap kayu utama penyangga rumahnya terdiri dari kayu pilihan. Banyak penduduk merasa iri padanya. Entahlah. Mak Lami terlalu lelah kalau harus memikirkan itu pula.
“Cut Intan, lekaslah kau pulang! Mak khawatir orang tuamu mencarimu.” Mak Lami bimbang.
“Mak tidak suka lon[22] di sini?” Cut Intan menatap Mak Lami. Wanita tua itu menjadi serba salah. Ia tahu perkataannya tadi telah menyentuh kalbu gadis cantik itu. Biasanya tak pernah Mak Lami menanyakan hal itu. Baginya Cut Intan telah dianggap sebagai anaknya sendiri.
“Engkau tahu Cut, kondisi sekarang sedang tidak tenang. Lebih aman jika anak gadis sepertimu berada di rumah orang tuamu.” Mak Lami menarik napas lega. Mak Lami merasa ia telah memberi alasan yang tepat. Cut Intan mengangguk mengerti. Dipendamnya dalam-dalam hasrat hendak berkeluh dengan mak Lami. Diambilnya nampan kecil yang sudah dipindahkan isinya oleh Mak Lami. Cut Intan perlahan bangkit, sambil mengibas remah buah pinang yang bertaburan di sarung yang dipingganginya.
Cut Intan hendak meninggalkan Mak Lami, ketika Saman tiba-tiba muncul melewati mereka hendak menaiki tangga rumah. Cut Intan menoleh sambil mengangguk kecil sebagai isyarat mohon pamit. Saman membalas anggukan Cut Intan lalu bergegas menaiki anak tangga rumahnya. Cut Intan tidak bisa berbohong. Debar-debar kecil menjalari tubuhnya. Rasa yang akan terus dijaganya paling tidak untuk satu hari lagi. Sampai...ah, remuk hati Cut Intan membayangkannya. Andai kau tahu, Saman. Cut Intan perlahan berlalu. Meninggalkan sebuah senyum terukir ranum di wajahnya. Senyum  yang menyisakan guratan kepedihan. Senyum yang sering dinantikan oleh setiap pemuda di gampong itu, juga Karim.

*  *  *

Kabut tipis masih memeluk jalan setapak dekat Indrapuri. Hawa dingin memaksa dua puluhan pemuda mempercepat langkah. Selepas Subuh mereka harus sudah keluar dari gampong itu.  Meninggalkan orang-orang yang mereka cintai untuk sesaat menahan rindu. Membiarkan mereka merajut doa untuk sebuah pertemuan kembali yang tak pasti.  Namun,  tidak bagi Cut Intan.
Sepasang mata bening itu telah menunggu sejak tengah malam. Lewat celah jendela ditatapnya iring-iringan itu dengan segenap kepedihan. Mukena masih menutupi tubuhnya selepas salat malam tadi. Remuk sudah hati wanita muda nan cantik itu.  Mengapa dirinya harus dihadapkan pada keputusan yang berat. Kalau saja cinta itu cepat mereka sadari.
Sepucuk reuncong masih tergenggam di tangannya. Saman memberinya sore tadi selepas salat Ashar di meunasah. Terjawab sudah semua prasangka di antara mereka selama ini. Cut Intan diamuk rasa. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Kekakuan Saman selama ini hanyalah sebuah pengorbanan seorang pemuda yang hendak menjaga fitrahnya semata. Tapi, mengapa harus terlambat.
”Dek Cut, simpanlah reuncong ini! Jika keinginan kita sejalan dengan kehendak Allah…” Saman menata degup yang meronta dalam tubuhnya. Baik ditumpahkan saja semua rasa ini. Biarlah mengalir menjadi sungai yang memberinya kehidupan.
“…Terimalah reuncong ini sebagai mahar kita nanti!”
Mata indah itu dibasahi bening-bening kristal. Serasa jiwanya melayang menggapai syurga. Hawa dingin dan nyaman seketika mengepung seluruh tubuhnya. Mengalir ke setiap aliran darahnya. Namun, ketika sampai ke saraf-saraf  kesadarannya, tahulah gadis itu bahwa semuanya kini sudah tak berarti lagi. Tahukah kau Saman. Sore ini pula Karim telah datang ke rumahku. Meminangku. Meminta setengah jiwa yang telah kugadaikan untukmu sejak lama. Ah, mata bening itu tak mampu lagi menyimpan dukanya.

*  *  *
           
Januari, 1874
            Mak Lami belum juga menuntaskan salat malamnya. Hampir setengah jam wanita yang kini tinggal sebatang kara itu larut dalam doa panjangnya. Tak ada lagi yang akan meneruskan generasinya. Berita dari Teuku Jafa siang tadi bagai memotong urat nadinya. Pilu merajam segenap jiwa wanita tua itu.
Saman terbunuh. Kabar itu berhembus sejak siang tadi ke seluruh penduduk gampong bagai wabah kolera yang sedang berjangkit saat itu. Selentingan yang terdengar bahwa Masjid Baiturrahman dan Dalam telah jatuh ke tangan Belanda. Sultan bersama Panglima Polem dan Teuku Baet menghindar ke Lueng Bata. Van Swieten, Jenderal Belanda itu mengoyak-koyak pertahanan pasukan Aceh. Belanda behasil mengepung Dalam dengan kekuatan penuh. Meninggalkan gelimpangan ribuan tubuh syuhada.
Ketakutan menebar kemana-mana. Seluruh penduduk bersiap-siap mengungsi. Takut kalau-kalau serangan Belanda sampai ke daerah mereka. Tidak dengan Cut Intan. Seharian gadis malang itu hanya mengurung diri di kamarnya. Reuncong pemberian laki-laki yang dicintainya itu tak lepas dari matanya. Sedikitpun dia tak disibukkan dengan rencana ayahnya. Padahal, besok Teuku Wahab akan menikahkannya dengan Karim.

*  *  *
 
Cut Intan terus berharap keajaiban Tuhan akan terjadi di depan matanya. Bayang-bayang Saman tak bisa hilang dari pikirannya. Sedikitpun tak diperhatikannya Teungku Qadhi yang bersiap membacakan aqad. Pandangannya hanya menerawang menembus dinding rumahnya. Resah tak mau hilang dari jiwanya.
Karim menarik nafas lega. Senyum membias di wajah pemuda itu. Tercapai sudah keinginannya. Benarkah? Entahlah. Wajah pemuda itu seperti masih menyimpan sejuta keinginan terpendam.
BOM! BOM! DOR! DOR!
”Aaaaa!!”
”Seraang!!”
”Allaaahu Akbar!!  Allaaahu Akbar!!”   
Seisi rumah terperanjat. Cut Intan masuk kamar. Di tangannya kini tergenggam sebilah reuncong. Gadis itu segera keluar menyusul Teuku Wahab dan Karim yang lebih dulu keluar.
”Perang! Belanda sampai..., mengungsi...mengungsi!”  Panik. Takut. Geram. Seketika menyebar ke setiap penjuru. Suara bedil, mesiu menderu-deru. Jeritan dan tangis bayi menggapai-gapai langit. Para lelaki menghunus rencong dan kelewang. Teungku Jafa langsung memimpin perlawanan.
Peperangan yang tidak seimbang itu terus berkobar. Api menjalar kemana-mana. Menghanguskan apa saja. Para wanita berlari tak tentu arah. Anak-anak yang terjatuh dari gendongan ibunya terinjak kehilangan nyawa. Van Swieten, Jenderal Belanda itu benar-benar tak memberikan kesempatan.
Aneuk lon.....aneuk looon!”[23] Jerit seorang wanita sambil memeluk bayinya yang telah bersimbah darah.
Dari arah Barat terlihat asap mengepul semakin tinggi. Belanda kembali membakar rumah-rumah penduduk. Oh, bukankah...bukankah, Rumah Mak Lami berada di sana?
Cut Intan terperangah. Ternganga. Matanya benar-benar terbelalak. Tiba-tiba Karim telah berdiri di sampingnya. Naluri membimbingnya masuk ke kancah pertempuran. Namun, tangan lelaki itu mencengkram kuat.
”Tolooong! Tolooong!” terdengar suara wanita berteriak lemah minta tolong di tengah  kancah peperangan. Mata Cut Intan benar-benar terbelalak.
”Mak Lamiiii!” Pekik Cut Intan tertahan. Cut Intan hendak berlari ke arah Mak Lami. Sekali lagi tangan kekar Karim mencengkramnya kuat.
”Bang Karim, tolong Mak Lamii!” Isak gadis itu.
”Diamlah.!” Karim melihat ke arah Mak Lami. Sebuah senyum culas mengembang di wajahnya. Wanita tua itu tak bergerak lagi. Berkali-kali tubuh wanita tua itu terinjak. Luka di sekujur tubuhnya mengeluarkan darah segar.
”Kariiiim!” Sebuah suara bentakan tiba-tiba terdengar.  Suara Teuku Wahab. Teuku Wahab geram melihat menantunya itu hanya menonton. Laki-laki itu berlari ke arah Karim dan Cut Intan. Baru beberapa meter. Sebutir peluru menghunjam dada laki-laki itu.
”Ayaaah!!”  Tangis Cut Intan Pilu. Karim panik. Demi dilihatnya sekelompok serdadu Belanda bergerak mendekat ke arahnya, sebuah senyum kembali mengembang di wajahnya. Pengkhianat!

*  *  *




Epilog
Gadis itu menghapus keringat di wajahnya. Reuncong dengan bercak darah mengering masih tergenggam di tangannya. Terbayang laki-laki yang memberikan reuncong itu. Laki-laki yang dicintainya. Laki-laki yang telah dikhianati temannya. Laki-laki yang dibunuh dengan rencongnya sendiri. Cut Intan sedikit pun tak ragu untuk mengenali rencong yang tergenggam di tangan Karim saat itu. Rencong kembar milik mereka. Ketahuilah Saman. Reuncong pemberianmu baru saja menghabisi nyawa seorang laki-laki pengkhianat. Dan... laki-laki itu? Karim, suaminya.  Tak ada sesal di wajah Cut Intan.  Hidup di hutan belantara bersama Teungku Jafa dan orang-orang yang ikhlas membela agama Allah telah menjadi pilihan baginya.

*  *  *


[1] Kaum kafir. Sebutan untuk penjajah Belanda
[2] Istana Kerajaan Aceh
[3] Desa
[4] sirih
[5] Rumah adat aceh
[6] Melinjo
[7] gadis
[8] Tempat menempa rencong
[9] Salah satu jenis reuncong dengan lapisan emas di hulu reuncong.
[10] Jenis reuncong yang memiliki kekhasan pada hulunya.
[11] Kapal perang
[12] Wahai anak yang berbudi
[13] Lampu teplok
[14] Peci
[15] Mushalla/surau
[16] Imam mushalla/pemuka agama
[17] Pantai Cermin/Ulee Lheeu. Tempat pendaratan pasukan Belanda/Agresi Belanda I
[18] Anak-anakku/murid-muridku
[19] baiklah
[20] Alat pembelah pinang
[21] Ukuran jarak yang dipakai masa itu. Lebih kurang satu kilometer
[22] saya
[23] Anakku...! anakku....!